Di GOR Gema Bulutangkis Senja, yang konon dibangun di atas bekas sumur bor peradaban kuno yang lupa menutup kerannya, bermain bulu tangkis bukanlah sekadar olahraga. Ini adalah negosiasi halus dengan hukum fisika yang sering mengambil cuti, pertunjukan balet tanpa musik bersama gaya gravitasi yang fluktuatif, dan kadang, sesi konseling dadakan untuk kok yang sedang merajuk.
Kedatangan di GOR Gema Bulutangkis Senja
Agus menghela napas panjang, yang di GOR ini terdengar seperti siulan peluit wasit dari dimensi lain. Ia dan Budi baru saja tiba di tempat yang mereka sebut "pusat pusaran keanehan terdekat dari rumah". GOR Gema Bulutangkis Senja bukanlah gedung biasa.
Baca Juga: Mencari Asal-Usul Ketidaksempurnaan Sebutir Remahan Biskuit Waktu
Dindingnya terbuat dari kombinasi beton, lumut bercahaya redup, dan potongan-potongan teka-teki silang koran bekas yang belum terjawab. Atapnya entah mengapa selalu meneteskan embun beku, bahkan di tengah hari yang terik, menciptakan efek "hujan salju tropis" yang tidak nyaman sekaligus membingungkan.
"Kau yakin jam sewa kita belum bergeser ke minggu depan karena ada anomali spasial lokal lagi, Gus?" tanya Budi sambil menendang kerikil yang melayang perlahan ke atas sebelum akhirnya jatuh kembali, seolah-olah ragu.
Agus memeriksa jam tangannya. Jam tangan itu, hadiah dari Bu Susi penjaga kantin GOR, bukan penunjuk waktu biasa. Jarum jamnya kadang berputar mundur jika ada pemain yang terlalu sombong, dan angka-angkanya bisa berubah menjadi simbol hieroglif jika ada pertandingan terlalu serius.
Saat ini, jam menunjukkan pukul "Tiga setengah sendok teh keberanian". "Kurasa ini waktu yang tepat, Bud," jawab Agus. "Lihat, lampu-lampu neon di dalam berkedip dengan ritme Polka disko. Itu tandanya GOR dalam mode 'Relatif Normal'."
Mode 'Relatif Normal' di GOR Gema Bulutangkis Senja masih jauh dari normal di tempat lain. Saat mereka melangkah masuk, suara decitan sepatu di lantai semen menggema dengan nada yang tidak biasa, seperti paduan suara jangkrik yang sedang berlatih opera minimalis. Aroma keringat bercampur dengan bau kuah bakso Bu Susi dan sedikit wangi ozon, mungkin sisa dari pembukaan portal acak kemarin sore.
Di sudut lapangan, tampak Pak Subandrio sedang melakukan pemanasan. Pak Subandrio adalah legenda lokal, setidaknya menurut versinya sendiri. Ia adalah mantan juara turnamen tingkat kecamatan pada tahun '87, yang konon dimenangkannya berkat kemampuan uniknya membaca pergeseran mikro-gravitasi akibat pergerakan ulat bulu di pohon mangga dekat GOR.
Sejak itu, ia hidup dalam keyakinan teguh bahwa gravitasi bukanlah konstanta, melainkan saran yang bisa diabaikan jika Anda cukup yakin. Ia mengenakan celana pendek merah marun yang tampaknya memiliki sejarah lebih panjang dari usia Agus dan Budi digabungkan, serta ikat kepala yang bertuliskan 'Juara Tapi Lupa Kapan'.
"Anak-anak muda!" seru Pak Subandrio dengan suara serak, menghentikan gerakan meregangkan kaki kanannya yang terhenti di udara selama beberapa detik sebelum kembali ke tanah. "Sudah siap menghadapi tantangan hukum alam yang fleksibel hari ini?"
Agus dan Budi hanya mengangguk. Mereka sudah terbiasa. Tantangan sebenarnya bukan mengalahkan lawan, melainkan mengalahkan GOR itu sendiri.
Pertandingan Melawan Konvensi Fisika
Mereka memulai pemanasan ringan, saling memukul kok. Tapi ini bukan sembarang kok. Pak Subandrio pernah "mewariskan" mereka sebuah Kok Puspa Kaca. Kok ini terbuat dari material yang sekilas mirip plastik dan bulu angsa, tapi jika diperhatikan baik-baik, bulu-bulunya tampak seperti kelopak bunga kaca yang rapuh, dan kepalanya memiliki kilau aneh.
Konon, Kok Puspa Kaca memiliki semacam kesadaran rendah dan emosi yang sangat dipengaruhi oleh cara ia diperlakukan. Memukulnya terlalu keras bisa membuatnya "merajuk" dan terbang ke arah acak atau bahkan mogok di udara.
Saat Budi memukul Kok Puspa Kaca terlalu tajam, kok itu mendadak berhenti di tengah udara, berputar pelan, dan mengeluarkan suara mendengung bernada rendah yang terdengar seperti keluhan. "Aduh, Bud! Hati-hati! Dia tidak suka pukulan 'smash' yang tidak sopan!" tegur Agus.
Kok Puspa Kaca kemudian melanjutkan perjalanannya, tapi kali ini melayang dengan lintasan bergelombang dan mendarat di luar garis lapangan dengan ketepatan yang aneh, seolah sengaja.
"Dia ngambek," gumam Budi. "Oke, maafkan aku, Kok Puspa Kaca yang Agung! Aku tidak bermaksud menyinggung kehormatanmu sebagai objek terbang!"
Setelah permintaan maaf yang dramatis, Kok Puspa Kaca tampak 'melunak' dan terbang normal kembali.
Mereka memutuskan untuk bermain ganda melawan Pak Subandrio yang berpasangan dengan ... nah, ini bagian yang unik. Pak Subandrio sering bermain ganda dengan 'Teman Imajiner Konstan' miliknya, yang ia beri nama Sutarjo.
Hanya Pak Subandrio yang bisa melihat Sutarjo, tapi anehnya, kadang-kadang bola memang tampaknya dipukul kembali dari sisi Pak Subandrio dengan cara yang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Apakah ini ilusi, pergeseran realitas kecil, atau Sutarjo memang eksis dalam frekuensi yang berbeda, tidak ada yang tahu pasti.
Pertandingan dimulai. Agus melakukan servis. Kok meluncur melewati net, atau lebih tepatnya, mendekati Transisi Multidimensi Mini (net). Saat kok mendekati net, ia tampak sedikit bergetar, seolah siap melompat ke dimensi lain untuk liburan singkat. Tapi Kok Puspa Kaca hari ini sedang kooperatif dan melewati net dengan mulus.
Pak Subandrio menerima servis. Pukulannya tampak biasa saja, namun saat kok terbang kembali, gravitasi di separuh lapangan Pak Subandrio mendadak tampak berkurang 10%. Kok melayang lebih tinggi dan lebih lama dari yang seharusnya.
"Ha! Lihat, Gus! Aku sudah bilang! Gravitasi bernegosiasi!" seru Pak Subandrio sambil melompat untuk mengambil bola tinggi yang seharusnya mudah diraih tapi kini membutuhkan usaha ekstra karena perbedaan gravitasi.
Agus berusaha melakukan lob, mengirim kok tinggi ke belakang lapangan Pak Subandrio. Saat kok mencapai puncaknya, ia melayang diam sesaat, memberikan Agus dan Budi waktu untuk saling pandang penuh tanya, sebelum akhirnya jatuh dengan kecepatan yang tidak proporsional, seolah ada tarikan magnet yang tiba-tiba aktif.
"Nah! Itu efek 'Magnetisme Nostalgia'! Koknya ingat zaman dulu waktu bola voli pantai butuh perjuangan ekstra melawan angin! Jangan lengah!" teriak Pak Subandrio, meski itu tidak menjelaskan apa pun secara logis.
Di pinggir lapangan, Bu Susi sedang sibuk di kantinnya yang unik. Kantin ini tidak hanya menjual mi instan dan minuman sachet; ia menawarkan ramuan-ramuan aneh. Hari ini menu spesialnya adalah 'Es Cincau Anti-Kecanggungan Sosial' dan 'Wedang Jahe Penggugah Bakat Terpendam (Mungkin Menari Samba)'. Suara denting es batu dan aroma jahe bercampur dengan suara kok dan teriakan Pak Subandrio.
"Susi! Ada 'Kopi Tubruk Penstabil Realita Jangka Pendek' hari ini?" teriak Pak Subandrio di sela-sela reli.
"Ada, Pak! Tapi persediaannya tipis! Habis diambil alien yang mampir tadi pagi, katanya buat meredakan jet lag antar-galaksi!" jawab Bu Susi dengan santai, seolah itu kejadian sehari-hari.
Agus dan Budi saling pandang. Alien mampir? Ini baru mode 'Relatif Normal'?
Permainan berlanjut dengan kekacauan yang terkendali. Kok Puspa Kaca kadang terbang lurus, kadang zigzag, kadang berputar seperti gasing, tergantung pada 'mood'-nya atau mungkin dipengaruhi oleh fluktuasi medan energi aneh di GOR.
Garis Batas Realita Tipis di lapangan juga menunjukkan aktivitasnya. Ketika Budi secara tidak sengaja menginjak garis ganda di sisi kirinya, ia mendadak mendengar suara hati seekor kecoa di sudut GOR selama sekitar lima detik. Pengalaman itu cukup mengganggu konsentrasinya.
"Dia mengkhawatirkan krisis remah-remah di bawah bangku penonton," gumam Budi, wajahnya pucat.
Pak Subandrio dan Sutarjo (yang tak terlihat) memainkan strategi aneh yang tampaknya melibatkan banyak pergerakan di area yang sama dan pukulan dari sudut yang mustahil. Kadang, sebuah pukulan kok tampak melewati Pak Subandrio tapi mendadak berbalik arah di udara seolah membentur sesuatu yang tak terlihat. Pak Subandrio hanya tersenyum misterius.
"Itu Sutarjo. Dia punya kemampuan 'Refleksi Tanpa Kontraksi Otot'," jelas Pak Subandrio. Agus dan Budi memilih tidak bertanya lebih lanjut.
Reli yang panjang pun terjadi. Kok Puspa Kaca bergerak dengan indah namun tak terduga, menari melewati Transisi Multidimensi Mini yang sesekali mengeluarkan kilatan cahaya ungu redup. Pak Subandrio melompat tinggi dalam gravitasi rendahnya, mendarat dengan kecepatan normal, dan memukul kok.
Budi merespons dengan pukulan drive yang kuat, namun Kok Puspa Kaca tiba-tiba berguling di udara seolah melakukan 'barrel roll' dan terbang ke samping, mengenai tiang net (yang kadang memancarkan getaran yang terasa seperti bisikan kuno).
"Koknya protes! Pukulanmu terlalu 'monoton'!" komentar Pak Subandrio. "Dia butuh variasi, sentuhan seni!"
Agus mencoba melambungkan Kok Puspa Kaca dengan lembut, memberikan pukulan "kasih sayang". Kok itu merespons dengan melayang tinggi, mengeluarkan suara seperti tawa riang, dan kemudian mendarat tepat di garis belakang lapangan Pak Subandrio. "Poinku!" seru Agus.
Pak Subandrio memeriksa garis belakang. Garis itu, yang merupakan Garis Batas Realita Tipis, berkedip-kedip dengan pola aneh, berubah warna dari putih menjadi biru kehijauan. "Hmm, garisnya sedang bernegosiasi dengan Kok Puspa Kaca tentang definisi 'masuk'," kata Pak Subandrio serius. "Sebentar."
Ia mengeluarkan kaca pembesar dari saku celananya dan meneliti garis yang berkedip. "Ah, Kok Puspa Kaca berpendapat dia mendarat ditepirealita, yang menurut GOR ini dihitung sebagai 'masuk secara konseptual'!"
Agus dan Budi saling berpandangan. "Jadi... masuk?" tanya Budi hati-hati.
"Secara konseptual, ya," jawab Pak Subandrio. "Tapi secara fisik, mungkin perlu banding ke Mahkamah Agung Benda Mati Ajaib GOR ini. Biasanya prosesnya cepat, tapi tergantung antrean surat dari kaus kaki yang hilang."
Mereka memutuskan untuk menghitungnya sebagai poin Agus dan Budi agar tidak memperpanjang birokrasi absurd GOR.
Selingan Kantin Ajaib dan Teori Konspirasi Semesta Bulutangkis
Saat istirahat, mereka menuju kantin Bu Susi. Bu Susi tersenyum ramah dari balik konter yang terbuat dari tumpukan raket patah yang direkatkan dengan permen karet bekas. "Bagaimana pertandingannya? Apakah Kok Puspa Kaca sudah menunjukkan tanda-tanda pencerahan spiritualnya?"
"Dia lebih mirip sedang krisis identitas," kata Agus sambil memesan 'Es Kelapa Muda Pengantar Wawasan Baru (Tentang Cara Mengikat Tali Sepatu yang Benar)'.
Budi memesan 'Wedang Jahe Penggugah Bakat Terpendam'. Ia berharap itu bisa membantunya menguasai pukulan 'backhand' yang selalu menyulitkan.
"Wedang jahe itu kadang justru menggugah bakat terpendam yang tidak berguna dalam bulu tangkis, lho," kata Bu Susi memperingatkan. "Ada pelanggan yang setelah minum itu mendadak bisa menirukan suara burung hantu dengan akurat tapi tidak bisa lagi membedakan servis dansmash."
Baca Juga: Rumah yang Mengingat Lebih dari Pemiliknya
Sambil menunggu pesanan, Pak Subandrio bergabung dengan mereka. Ia sedang menyeruput 'Kopi Tubruk Penstabil Realita Jangka Pendek' yang hitam pekat dan beraroma seperti campuran kopi, oli mesin, dan keajaiban yang ragu-ragu.
"GOR ini," ujar Pak Subandrio dengan suara rendah, seolah membocorkan rahasia alam semesta. "GOR ini... adalah titik fokus. Titik di mana selubung antara 'Dunia Nyata' dan 'Dunia Di Mana Bulu Tangkis Adalah Bahasa Universal' sangat tipis."
Agus menyeruput es kelapanya. Ia mendadak merasa paham betul cara mengikat tali sepatu model ganda yang tidak pernah longgar. Wawasan yang aneh, tapi memang baru.
"Gravitasi," lanjut Pak Subandrio, menunjuk ke langit-langit GOR. "Bukan gaya tarik. Itu adalah... persetujuan. Persetujuan antara semua objek di sekitar sini untuk 'jatuh ke bawah'. Tapi di GOR ini, persetujuan itu sering diganggu oleh... oleh getaran dari turnamen kosmik yang tidak terlihat. Turnamen yang memperebutkan hak siarsmashtercepat di Galaksi Bima Sakti!"
Budi tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk melakukan gerakan tarian flamenco. Ia menahan diri. Sepertinya wedang jahenya mulai bekerja, tapi bukan di areabackhand.
"Dan net itu, Transisi Multidimensi Mini," kata Pak Subandrio lagi. "Bukan pembatas. Itu adalah... pintu putar. Kadang, kok yang melewatinya sedikit 'tercelup' dalam dimensi lain. Itu sebabnya Kok Puspa Kaca kadang kembali dengan sedikit...pengetahuananeh. Pernah dia kembali dari net dengan kemampuan menghitung akar kuadrat sambil bersiul mars militer."
Agus mengingat kembali kali ketika Kok Puspa Kaca mendadak mengucapkan deretan angka prima setelah melewati net. Ia pikir itu hanya halusinasi karena kepanasan. Ternyata tidak.
Bu Susi meletakkan pesanan mereka. "Total... umm... dua puluh lima ribu rupiah, ditambah tiga unit koin dari era Kerajaan Majapahit yang terbungkus permen karet," katanya.
Mereka sudah menyiapkan koin-koin Majapahit. Di GOR ini, itu mata uang yang valid.
Kembali ke Medan Absurd
Setelah jeda dan sedikit pencerahan aneh, mereka kembali ke lapangan. Permainan berlanjut. Skor masih ketat, meskipun skor di papan tulis elektronik GOR kadang menampilkan simbol-simbol alien atau resep kue yang rumit.
Saat Agus melakukanjumping smash, Kok Puspa Kaca tampaknya kaget. Ia mengeluarkan bunyi 'ciiiiit' melengking dan terbang lurus ke atas, menembus atap GOR (yang materialnya langsung menutup kembali seolah itu hanya gelembung sabun).
"Oh, dia kaget. Mungkin dia pikir kau mau mengubahnya jadi meteorit," kata Pak Subandrio santai. "Dia akan kembali. Biasanya sih lewat saluran ventilasi atau dikirim kembali oleh burung dara pos yang punya rute antar-dimensi."
Benar saja, lima menit kemudian, Kok Puspa Kaca jatuh dari saluran ventilasi di atas kantin, mendarat di dekat Bu Susi, dan mengeluarkan suara "ngiiik" seolah menggerutu. Bu Susi mengambilnya. "Kau main terlalu kasar, Kok. Dia butuh sentuhan kasih sayang.
Seperti... seperti menyisir bulunya dengan bulu mata paus sisa Zaman Es." Bu Susi melemparkan kembali Kok Puspa Kaca ke lapangan. Kok itu tampak sedikit lesu, terbang agak lambat.
"Dia masih ngambek," gumam Budi. Wedang jahenya membuat ia merasakan dorongan untuk melakukan balet klasik di tengah lapangan, namun ia menahan diri.
Mereka harus mengubah strategi. Tidak bisa menggunakansmashkeras. Mereka harus bermain lebih halus, lebih taktis, dan mungkin sedikit membujuk Kok Puspa Kaca.
Agus mencoba pukulandrop shotyang sangat pelan dan penuh perasaan. Kok Puspa Kaca tampak terkejut, lalu merespons dengan melayang indah di atas net dan jatuh tepat di depan Garis Batas Realita Tipis, membuatnya berkedip puas.
"Ah, dia suka itu!" seru Pak Subandrio. "Dia menghargai kehalusan! Kok Puspa Kaca adalah seniman, bukan rudal!"
Mereka terus bermain dengan strategi 'bujukan Kok Puspa Kaca'. Lob tinggi yang melayang lembut, netting halus yang membuat kok menari di udara, drive pelan yang seperti bisikan angin. GOR tampaknya merespons permainan yang lebih artistik ini.
Cahaya lampu neon berubah menjadi warna-warna pastel, suara decitan sepatu terdengar seperti alunan harpa yang dimainkan oleh makhluk kecil tak terlihat, dan aroma di udara berubah menjadi wangi bunga kenanga yang entah dari mana asalnya.
Bahkan Sutarjo, teman imajiner Pak Subandrio, tampaknya juga menikmati ini. Pukulan baliknya tidak lagi sekuat tadi, melainkan lebih elegan, lebih seperti ayunan raket yang dilakukan oleh hantu penari.
Saat skor mencapai "Satu langkah lagi menuju penemuan makna tumpukan kaus kaki hilang" (sesuai pembacaan papan skor saat ini), sebuah kejadian aneh terjadi. Sebuah kok lain, kok biasa berwarna putih, mendadak jatuh dari langit-langit. Kok ini tampak normal, tidak berkedip, tidak bersuara, tidak memancarkan aura aneh.
Pak Subandrio tampak kaget. "Kok... koknormal? Di GOR ini? Itu tidak mungkin! Itu melanggar Perjanjian Geneva tentang Anomali Olahraga Lokal!"
Baca Juga: Kebebasan dari Desingan Faktual
Kok normal itu mendarat di lapangan dan diam saja. Tidak berguling, tidak terbang, hanya... diam. Agus mengambilnya. Rasanya seperti kok biasa. Tidak ada kilau aneh, tidak ada getaran, tidak ada bisikan kuno.
"Kurasa... mungkin ada yang lupa mengunci Gudang Kok Cadangan di Dimensi Sebelah?" ujar Budi, mencoba mencari penjelasan logis di tempat yang tidak kenal logika.
Kehadiran kok normal itu tampaknya mengganggu keseimbangan GOR. Garis Batas Realita Tipis berhenti berkedip. Transisi Multidimensi Mini di net meredup. Suara aneh menghilang, digantikan oleh suara-suara GOR biasa. Bahkan Pak Subandrio tampak sedikit kehilangan kemisteriusannya, berdiri tegak dengan gravitasi normal.
Kok Puspa Kaca yang tadi lesu mendadak terbang dengan marah ke arah kok normal, menabraknya, dan keduanya meledak dalam percikan cahaya ungu dan bulu-bulu kaca.
Saat cahaya mereda, tidak ada kok yang tersisa. Hanya ada bau ozon yang lebih kuat dan suara denting lemah seperti bel kristal.
Pak Subandrio menghela napas. "Ah, Kok Puspa Kaca tidak suka ada saingan yang terlalu... konvensional. Dia sangat dramatis."
Permainan terhenti. Tanpa kok, tidak ada bulu tangkis di GOR Gema Bulutangkis Senja, bahkan dalam mode 'Relatif Normal'.
Senja Menutup Hari yang Absurd
Matahari mulai terbenam, mewarnai langit di luar dengan gradasi jingga dan ungu yang sama dengan warna ledakan kok tadi. Agus, Budi, dan Pak Subandrio duduk di bangku pinggir lapangan, merasakan sisa-sisa keanehan yang perlahan mereda.
Bu Susi datang membawa tiga cangkir 'Teh Hangat Penghapus Kebingungan Ringan'.
"Hari yang menarik, bukan?" katanya sambil tersenyum. "GOR ini memang punya cara sendiri untuk membuat kita tetap... waspada."
Pak Subandrio meminum tehnya. "Kita hanya perlu menerima. Menerima bahwa kok punya perasaan, gravitasi itu opsional, dan garis lapangan bisa bernegosiasi. Itu esensi bermain di sini."
Agus dan Budi mengangguk. Mereka datang untuk bermain bulu tangkis, tapi selalu pulang dengan cerita yang lebih aneh dari yang bisa mereka bayangkan. Mereka datang untuk olahraga, tapi selalu pulang dengan pelajaran tentang fleksibilitas realita dan pentingnya memperlakukan objek mati dengan hormat (terutama jika mereka terbuat dari kaca dan bulu merajuk).
"Jadi... apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Budi. "Kok kita habis."
"Besok kita coba cari kok baru," jawab Agus. "Mungkin Kok Bulu Naga yang tersangkut di pohon mangga dekat GOR. Konon dia punya kemampuan teleportasi acak saat di-smash."
Pak Subandrio berdiri. "Aku harus pulang. Sutarjo bilang dia ada janji dengan arwah pemetik teh yang konon menguasai pukulan slice tak terlihat."
"Tunggu, Pak," kata Bu Susi. "Dompet Bapak tertinggal di belakang kantin. Saya temukan terbungkus jaring laba-laba yang memancarkan kode Morse."
Pak Subandrio mengambil dompetnya, tidak terkejut sama sekali. "Terima kasih, Susi. Jaring laba-laba itu memang agak cerewet akhir-akhir ini."
Saat mereka bersiap pulang, GOR Gema Bulutangkis Senja tampak sedikit lebih tenang, namun aura keanehannya masih terasa, bersembunyi di balik bayangan senja. Lampu neon kembali berkedip dengan ritme yang tidak bisa diprediksi, seperti detak jantung bangunan yang aneh ini.
Garis Batas Realita Tipis tampak meredup tapi tidak menghilang sepenuhnya, hanya... beristirahat. Transisi Multidimensi Mini di net sesekali mengeluarkan suara gemericik, seolah ada sesuatu yang baru saja melewati atau sedang mempertimbangkan untuk kembali.
Agus dan Budi berjalan keluar, meninggalkan GOR dan hari yang penuh keanehan di belakang mereka. Mereka tidak memenangkan pertandingan, tapi mereka selamat dari fluktuasi gravitasi, negosiasi garis lapangan, dan amukan kok puspa kaca. Bagi mereka, itu sudah kemenangan yang cukup besar.
Dan besok, petualangan bulu tangkis absurd lainnya akan menunggu. Mungkin kali ini Kok Bulu Naga. Atau mungkin lapangan akan berubah menjadi kolam gelatin raksasa. Di GOR Gema Bulutangkis Senja, apa pun bisa terjadi.
Editor : Redaksi Sanubari