Pak Datar, seorang wartawan yang karyanya selalu terasa seperti daftar belanjaan yang dibacakan dengan suara datar di tengah badai pasir. Mendapati bahwa satu-satunya hal yang ia inginkan di dunia ini bukanlah penghargaan jurnalisme atau kenaikan gaji, melainkan Kebebasan Non-Faktual.
Kebebasan itu, dalam imajinasinya yang agak terbatas, adalah kondisi di mana fakta-fakta benda-benda kecil berdengung dengan sayap seperti sayap nyamuk. Memancarkan cahaya redup berupa kebenaran sepele berhenti menempel padanya seperti permen karet di sepatu baru.
Baca juga: Mencari Asal-Usul Ketidaksempurnaan Sebutir Remahan Biskuit Waktu
Hari yang Penuh Desingan
Kota Berita Aneh adalah tempat di mana berita bukanlah sesuatu yang dicari, melainkan sesuatu yang ditangkap. Setiap pagi, jutaan fakta kecil berdengung keluar dari lubang-lubang drainase yang entah bagaimana terhubung ke Dimensi Kebenaran Sehari-hari. Lalu menyebar ke seluruh kota.
Tugas wartawan seperti Pak Datar adalah menangkap fakta-fakta itu dengan jaring. Memasukkannya ke dalam stoples khusus, membawanya ke kantor, lalu mengolah desingan tak henti-hentinya itu menjadi kalimat-kalimat pasif yang nyaris tidak memiliki arti.
Pak Datar duduk di meja kerjanya yang dilapisi koran bekas, merasakan getaran samar di saku jaketnya. Itu adalah Fakta-Fakta Lupa Dibuang dari Liputan Kemarin, masih sedikit berdengung dan memancarkan informasi tentang harga brokoli di pasar swalayan terdekat pada hari Selasa. Pak Datar menghela napas, yang berbunyi seperti kertas kusut. Kebebasan. Ah, Kebebasan. Konsep itu terdengar begitu jauh, seperti pulau dongeng yang di peta hanya ditandai dengan gambar cangkir kopi tumpah.
"Datar!" panggil Kepala Redaksi, Tuan Berita Utama, seorang pria yang kepalanya menyerupai gulungan naskah kuno. "Sudah berapa banyak fakta tentang payung hilang di Halte 3B yang kau kumpulkan?"
"Ehm... tiga belas, Tuan Berita Utama," jawab Pak Datar, menatap stoples di mejanya. "Satu fakta berdengung bahwa payungnya warna hijau tua, satu fakta bahwa pemiliknya memakai sandal jepit, dan sebelas fakta lainnya masih mendebatkan apakah tetesan hujan hari itu berasal dari awan atau hanya kondensasi dari langit-langit toko permen raksasa."
Tuan Berita Utama mengangguk puas. "Bagus. Terus kejar. Kita butuh setidaknya lima puluh fakta sebelum jam makan siang jika kita ingin membuat judul 'Misteri Payung Hijau Tua Menggemparkan Halte 3B: Sendal Jepit Menjadi Saksi Bisu?'"
Pak Datar hanya bisa merenung. Kebebasan. Hanya dia dan keheningan. Tanpa desingan, tanpa sandal jepit yang jadi saksi bisu entah apa.
Upaya Pertama: Pengabaian Faktual Tingkat Dasar
Langkah pertama Pak Datar menuju Kebebasan Non-Faktual adalah dengan mencoba mengabaikan fakta secara aktif. Biasanya, jika sebuah fakta berdengung di dekatnya, Pak Datar akan secara otomatis mengeluarkan jaring. Kali ini, ia mencoba bersikap seolah fakta itu hanyalah debu kosmik yang kebetalan tahu terlalu banyak tentang kebiasaan minum tehnya.
Saat berjalan pulang, sebuah fakta berdengung keras di sebelah telinganya. Ini adalah Fakta Terkini tentang Lubang di Kaos Kaki Kiri Pak Datar.
Desing!"Ada lubang kecil di bagian tumit..."Desing!"...kemungkinan disebabkan oleh gesekan berlebihan dengan bagian dalam sepatu tua..."Desing!"...sebaiknya segera diperbaiki atau diganti sebelum melebar..."Desing!"...warna benang yang dibutuhkan adalah abu-abu tua, kode warna R 118, G 122, B 129..."
Pak Datar mencoba berjalan lebih cepat, bersenandung lagu yang tidak ada liriknya. Ia memasukkan tangan ke saku, berpura-pura mencari kunci yang tidak hilang. Ia menatap langit, berharap awan bisa menyerap desingan fakta tentang kaos kakinya.
Namun, fakta itu tidak menyerah. Ia berdengung semakin keras, semakin dekat. Tidak hanya itu, tampaknya fakta itu mulai menarik fakta-fakta sepele lainnya. Tiba-tiba, Pak Datar dikelilingi oleh Fakta-Fakta Tentang Tepi Jalan yang Agak Pecah, Fakta-Fakta Tentang Kucing Jingga yang Duduk di Pagar, dan Fakta-Fakta Tentang Bau Masakan dari Jendela Tertutup.
Desing! Desing! Desing!
"Lubang kaos kaki! Pecahan tepi jalan! Kucing jingga! Bau rendang! Perbaiki lubang! Jangan injak pecahan! Kucing itu bernama Oyen! Rendang itu agak keasinan!"
Kepala Pak Datar mulai berdenyut. Mengabaikan fakta ternyata tidak membuat fakta itu pergi. Justru, fakta-fakta itu merasa ditantang, termotivasi untuk berdengung lebih keras dan merekrut fakta-fakta lain dalam solidaritas faktual. Upaya pertama gagal total. Pak Datar pulang dengan kepala dipenuhi desingan dan akhirnya harus menangkap semua fakta yang mengikutinya sebelum ia bisa tidur, termasuk yang detail tentang rendang keasinan di rumah yang bahkan bukan rumahnya.
Upaya Kedua: Delegasi Absurd
Setelah kegagalan pengabaian, Pak Datar memutuskan untuk mencoba metode lain: delegasi. Jika ia tidak bisa menangkap fakta, mungkin ia bisa membuat orang (atau benda) lain yang melakukannya untuknya.
Ia pertama mencoba menaruh jaring fakta di atas kepala boneka manekin tua yang ia temukan di gudang kantor. Manekin itu, yang ia namai 'Bapak Patung Penjaring Fakta', hanya berdiri diam. Fakta-fakta berdengung di sekelilingnya, beberapa bahkan mendarat di jaring, namun tidak ada yang terjadi. Manekin itu tidak bergerak, tidak berpikir, tidak peduli. Fakta-fakta itu akhirnya kehilangan minat dan terbang mencari telinga lain untuk berdengung.
Kemudian, Pak Datar mencoba yang lebih ambisius. Ia melatih seekor merpati kota yang agak cerdas (atau setidaknya tidak sepenuhnya bodoh) untuk memakai jaring kecil di punggungnya dan mengejar desingan fakta. Ia memberinya nama 'Merpati Faktual'.
Pelatihan berjalan cukup baik pada awalnya. Merpati Faktual belajar membedakan desingan fakta dari suara kendaraan atau obrolan manusia. Ia bahkan berhasil menangkap beberapa fakta kecil tentang remah-remah biskuit di trotoar.
Namun, masalah muncul saat Merpati Faktual dihadapkan pada Fakta-Fakta yang Lebih Kompleks. Suatu hari, sebuah fakta berdengung tentang kebijakan baru pemerintah kota mengenai tarif parkir untuk kendaraan roda tiga berwarna ungu dengan stiker ikan pari. Fakta ini sangat detail, bercabang, dan memiliki banyak sub-fakta yang berdengung secara harmonis namun membingungkan.
Merpati Faktual, yang otaknya hanya didesain untuk membedakan biskuit dari kerikil, mengalami kelebihan beban informasi. Ia berputar-putar di udara, mendesingkan serangkaian angka acak, lalu menabrak papan iklan selimut dan jatuh pingsan.
Pak Datar harus memungut Merpati Faktual yang kebingungan dan jaringnya yang rusak. Delegasi kepada objek atau hewan yang tidak memiliki kapasitas faktual ternyata adalah ide yang sangat buruk. Mereka tidak bisa memproses fakta; mereka hanya bingung atau, dalam kasus Merpati Faktual, mengalami gangguan mental sementara. Upaya kedua pun kandas.
Upaya Ketiga: Guru Anti-Berita dan Kebingungan Filosofis Ringan
Desperate, Pak Datar mendengar desas-desus tentang seseorang yang berhasil mencapai tingkat Kebebasan Non-Faktual yan mengagumkan: seorang Guru Anti-Berita yang tinggal di pinggiran kota, di sebuah rumah yang dilapisi gabus. Nama guru itu adalah Bapak Tanpa Judul.
Pak Datar melakukan perjalanan panjang ke rumah Bapak Tanpa Judul. Ia menemukan rumah gabus itu dan mengetuk pintu. Pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang pria kurus dengan jenggot panjang yang diikat simpul, mengenakan jubah yang terbuat dari halaman-halaman buku telepon bekas, dan di kepalanya ada saringan pasta yang diletakkan terbalik.
"Kau datang mencari ketidak-tahuan yang mencerahkan?" tanya Bapak Tanpa Judul dengan suara serak seperti gesekan dua lembar koran.
"Saya... saya hanya ingin fakta-fakta berhenti berdengung di sekitar saya," kata Pak Datar jujur. "Saya ingin Kebebasan Non-Faktual."
Bapak Tanpa Judul mengangguk perlahan, menyebabkan saringan pastanya bergoyang. "Ah, desingan itu. Gangguan konstan dari realitas yang... ya, konstan. Duduklah, jika kau bisa menemukan permukaan yang tidak tertutup oleh tumpukan majalah berisi resep kue yang sudah kadaluwarsa."
Pak Datar duduk di sebuah kursi yang terbuat dari tumpukan pamflet tentang cara menanam brokoli yang sudah menguning.
"Kebebasan dari fakta," kata Bapak Tanpa Judul, menggosok-gosok saringan pastanya. "Itu bukan tentangmengabaikanfakta, ataumendelegasikannya. Itu tentangmengacaukansistem. Kau harus menjadi sangat tidak relevan sehingga fakta-fakta tidak menemukan alasan untuk menempel padamu."
"Bagaimana caranya?" tanya Pak Datar, antusias.
"Beberapa metode," jelas Bapak Tanpa Judul. "Pertama: Hanya bicara dalam kiasan. Fakta membenci kiasan. Mereka tidak bisa menempel pada 'langit-langit hatiku yang runtuh' atau 'sungai waktu yang membawa sandal jepit'. Mereka butuh hal konkrit!"
"Tapi pekerjaan saya butuh hal konkrit," protes Pak Datar. "Saya harus melaporkan 'lubang di kaos kaki', bukan 'metafora tekstil dari kerapuhan eksistensi'"
Baca juga: Gemuruh Kok di Antara Dua Semesta Senja
"Sshhh!" sela Bapak Tanpa Judul. "Jangan sebut kata itu! Itu menarik fakta-fakta filosofis yang sangat merepotkan! Lupakan metode itu jika pekerjaanmu menghambatnya. Metode kedua: Ganti namamu setiap hari. Fakta punya memori pendek. Jika kau adalah 'Pak Datar Hari Senin', besok kau adalah 'Tuan Pipih Hari Selasa', fakta-fakta kemarin akan bingung mencari 'Pak Datar Hari Senin' yang sudah tidak ada secara onomastik."
"Mengganti nama setiap hari?" Pak Datar mengerutkan dahi. "Itu merepotkan untuk urusan administrasi. Dan bagaimana dengan surat-surat penting?"
"Ah, surat-surat penting adalah sarang fakta-fakta berbahaya," kata Bapak Tanpa Judul muram. "Hancurkan semua surat. Hidup dalam ketidakpastian pos!"
"Baiklah, metode ketiga," kata Pak Datar cepat, mengabaikan saran merusak surat.
"Metode ketiga," Bapak Tanpa Judul merendahkan suaranya. "Hiduplah di balik cermin. Cermin membalikkan realitas. Fakta-fakta yang datang akan terpantul kembali sebagai anti-fakta atau fakta terbalik. Fakta bahwa 'kaos kaki punya lubang' menjadi anti-fakta bahwa 'lubang punya kaos kaki'. Itu membuat mereka bingung dan akhirnya bubar."
"Tinggal di balik cermin?" Pak Datar membayangkan dirinya terjebak di ruang terbalik, menuang kopi ke langit-langit. "Itu tampaknya... tidak praktis."
Bapak Tanpa Judul mendesah, menyebabkan saringan pastanya berdenting. "Kau mencari Kebebasan Non-Faktual tapi menolak semua jalan menuju ke sana karena alasan praktis? Kebebasan non-faktualmemangtidak praktis! Kebebasan sejati seringkali melibatkan keputusan yang membuat orang lain menggelengkan kepala dan bertanya, 'Mengapa kau memakai saringan pasta di kepala?'"
Pak Datar menyadari bahwa saran Bapak Tanpa Judul terlalu absurd bahkan untuk standar absurditasnya sendiri. Tinggal di balik cermin hanya akan memberinya fakta terbalik yang mungkin lebih buruk, seperti fakta bahwa iatidakpunya lubang di kaos kaki padahal jelas ada. Upaya ketiga, meski mencerahkan dalam hal kebingungan filosofis ringan tentang saringan pasta, juga gagal memberinya solusi praktis.
Upaya Keempat: Pelarian dari Kota Berita Aneh
Dengan saran Bapak Tanpa Judul yang terlalu "di luar kotak" (atau mungkin "di balik cermin"), Pak Datar memutuskan bahwa satu-satunya jalan menuju Kebebasan Non-Faktual adalah meninggalkan sumber fakta itu sendiri: Kota Berita Aneh.
Ia mengemasi tasnya. Bukan tas berisi pakaian atau makanan, melainkan tas kosong. Apa gunanya pakaian jika fakta tentang warnanya akan berdengung? Apa gunanya makanan jika fakta tentang nilai gizinya akan mengganggunya? Ia hanya membawa stoples kosong untuk berjaga-jaga dan sebuah peta kota yang sudah usang.
Pada malam hari, saat desingan fakta sedikit berkurang (fakta-fakta malam cenderung lebih tenang, seringkali hanya berdengung tentang bulan, mimpi aneh, atau suara kulkas), Pak Datar menyelinap keluar dari apartemennya. Ia berjalan menuju gerbang kota, sebuah struktur besar yang tampak seperti salinan masif halaman depan koran edisi Minggu.
Namun, saat ia mendekat, ia mendengar desingan yang berbeda. Lebih banyak, lebih kuat. Itu adalah Fakta-Fakta Perbatasan. Fakta-fakta ini bertugas menjaga agar realitas di dalam Kota Berita Aneh tidak bocor keluar, dan sebaliknya. Mereka membentuk dinding tidak terlihat yang hanya bisa ditembus oleh orang-orang yang secara resmi 'keluar' melalui Biro Imigrasi Faktual, proses yang memakan waktu bertahun-tahun dan melibatkan pengisian formulir yang berisi lebih banyak fakta daripada seluruh arsip perpustakaan kota.
Fakta-fakta Perbatasan mulai berdengung padanya.
Desing!"Individu bernama Pak Datar mencoba keluar tanpa izin..."Desing!"...ia membawa tas kosong, anehnya..."Desing!"...motivasinya dicurigai sebagai Kebebasan Non-Faktual, sebuah konsep yang tidak diakui undang-undang factual..."Desing!"...sebaiknya dihentikan dan diarahkan kembali ke area penangkapan fakta terdekat..."
Dinding desingan itu semakin kuat. Pak Datar bisa merasakan getaran fakta menabrak dirinya, mencoba mendorongnya kembali. Fakta tentang berat badannya, fakta tentang tanggal lahirnya, fakta tentang nama kecil ibunyasemua fakta pribadinya tampaknya bersatu dengan Fakta-Fakta Perbatasan untuk mencegahnya pergi.
Ia mencoba berlari, tetapi desingan itu mengikutinya. Ia mencoba bersembunyi di balik patung wartawan terkenal (yang ironisnya terbuat dari fakta yang dipadatkan), tetapi fakta-fakta itu menemukannya. Mereka tidak akan membiarkannya pergi. Kota Berita Aneh memegang fakta tentang dirinya, dan fakta-fakta itu mengikatnya di sana. Upaya keempat untuk melarikan diri secara fisik terbukti tidak mungkin.
Penemuan Kebebasan yang Salah Alamat
Pak Datar kembali ke apartemennya, lesu dan dikelilingi oleh fakta-fakta yang mengikutinya pulang dari perbatasan, termasuk fakta bahwa "petugas perbatasan bernama Budi memiliki tahi lalat di lengan kiri atas". Ia duduk di kursi, menatap stoples fakta di ejanya. Semua desingan itu... begitu melelahkan.
Baca juga: Rumah yang Mengingat Lebih dari Pemiliknya
Di tengah keputusasaannya, pandangannya jatuh pada sudut apartemennya yang jarang ia perhatikan. Tumpukan koran bekas yang belum sempat ia buang selama berbulan-bulan. Debu tebal menyelimutinya. Aroma apek menyeruak.
Ia mendekat. Anehnya, di sekitar tumpukan koran bekas itu, desingan fakta tampaknya lebih tenang. Desingan fakta-fakta yang mengikutinya mulai mereda saat mereka memasuki area itu. Fakta tentang tahi lalat Budi hanya berdengung samar.
Pak Datar penasaran. Ia meraih salah satu koran bekas. Itu edisi enam bulan lalu, berisi berita tentang kontes memasak sup yang hasilnya sudah lama diketahui. Di koran itu, tidak ada fakta yang berdengung. Mereka mati. Atau setidaknya, sangat, sangat lelah.
Lalu ia melihatnya. Di celah antara tumpukan koran dan dinding, ada sebuah pintu kecil. Ia belum pernah melihatnya sebelumnya. Pintu itu tampak tua, berkarat, dan entah bagaimana... tidak penting.
Ia membukanya perlahan. Di baliknya, bukanlah lorong atau ruangan lain. Melainkan...kebosanan. Ruangan itu kosong, redup, dan hanya ada sebuah kursi kayu tua di tengahnya. Tidak ada cahaya terang, tidak ada suara bising. Dan yang paling penting:Tidak Ada Desingan Fakta.
Pak Datar melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia duduk di kursi kayu tua itu. Sunyi. Benar-benar sunyi. Tidak ada fakta tentang kursi itu (kayu, tua, sedikit reyot). Tidak ada fakta tentang ruangan itu (kosong, redup, bau apek). Tidak ada fakta tentang dirinya sendiri.
Ini dia. Kebebasan Non-Faktual. Ruang kosong yang sunyi, tempat fakta tidak memiliki daya tarik.
Awalnya, ini terasa luar biasa. Damai. Tidak ada yang menuntut perhatiannya, tidak ada yang memberinya informasi yang tidak ia minta. Ia bisa duduk di sana selama berjam-jam, hanya... ada. Tanpa harus tahu berapa harga brokoli, atau di mana lubang di kaos kakinya.
Namun, setelah beberapa waktu yang terasa seperti keabadian yang hambar, Pak Datar mulai merasa... aneh. Keheningan itu sangat mutlak sehingga terasa seperti kekurangan. Tidak ada yang menarik perhatiannya. Tidak ada yang memberinya bahan untuk direnungkan (bahkan perenungan dangkal sekalipun).
Ia terbiasa dengan desingan. Desingan fakta, seberapa pun mengganggunya, setidaknya memberinyasesuatu. Sesuatu untuk dilaporkan, sesuatu untuk diabaikan, sesuatu untuk dicoba didelegasikan, sesuatu untuk dilari. Tanpa fakta, tidak ada apa-apa. Benar-benar tidak ada apa-apa. Bukan keheningan yang menenangkan, melainkan keheningan yang hampa.
Ia merindukan desingan itu. Sedikit. Merindukan tantangan menangkap fakta. Merindukan keluhan tentang fakta-fakta yang terlalu banyak. Merindukan bahkan fakta tentang tahi lalat Budi.
Pak Datar menghela napas. Kebebasan Non-Faktual ternyata hanyalah ketiadaan faktual. Dan ketiadaan... cukup membosankan.
Ia berdiri dari kursi kayu tua, merasakan sedikit fakta kecil tentang berat badannya yang sedikit bertambah berdengung samar dari luar pintu. Ia tersenyum kecil. Desingan yang akrab.
Ia membuka pintu kecil itu dan kembali ke apartemennya yang agak berantakan dan penuh dengan desingan fakta-fakta yang menunggu untuk dilaporkan, diabaikan, atau sekadar mengganggu. Ia mengambil jaringnya. Masih banyak fakta tentang harga brokoli, sandal jepit, dan mungkin beberapa fakta baru tentang kucing jingga.
Pak Datar, sang wartawan yang ingin bebas dari fakta, menyadari bahwa mungkin kebebasan yang ia cari bukanlah ketiadaan fakta, melainkan kebebasan untuk memilih fakta mana yang akan ia kejar, atau mungkin, kebebasan untuk sesekali hanya melaporkan sesuatu yangbenar-benarpenting, seperti fakta bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah desingan konstan yang harus dihadapi, stoples demi stoples. Tapi itu mungkin terlalu filosofis. Jadi, ia memutuskan untuk fokus pada fakta tentang payung hilang. Itu lebih aman dan jauh lebih praktis. Desingan pun berlanjut.
Editor : Redaksi Sanubari