RUMAH masa kecilku bukanlah rumah biasa dengan atap genteng dan dinding bata. Oh, tidak. Rumah itu adalah sebuah entitas yang penuh kenangan. Beberapa di antaranya bahkan belum terjadi. Terbungkus dalam dinding yang kadang berwarna kuning cerah seperti mustard yang terlalu optimistis.
Kadang kelabu murung seperti kaus kaki yang hilang. Inilah kisah tentang rumah itu. Serta mengapa keindahannya adalah keindahan yang hanya bisa dipahami oleh logika yang sudah menyerah.
Baca juga: Mencari Asal-Usul Ketidaksempurnaan Sebutir Remahan Biskuit Waktu
Memasuki Gerbang Pagar Berduri Nostalgia
Aku kembali ke Kampung Angin Kusut setelah bertahun-tahun. Gerbang pagarnya masih sama, terbuat dari besi tempa yang sepertinya dililit oleh duri-duri mawar yang dipelihara dengan diet air mata rindu dan pupuk penyesalan ringan.
Bunyi deritannya bukan sekadar bunyi engsel karat, melainkan melodi minor yang diputar ulang dari sore-sore hujan saat aku menunggu seseorang yang tak kunjung datangbiasanya tukang bakso yang tersesat di dimensi lain.
Rumah itu berdiri di ujung jalan buntu yang berbelok tanpa alasan jelas, kecuali mungkin karena jalan itu sendiri punya urusan pribadi yang harus diselesaikan. Dindingnya, hari ini berwarna hijau lumut yang mengingatkan pada bantal sofa tua yang nyaman sekaligus menyimpan sejarah remahan keripik tampak bernapas pelan.
Jendela-jendela di lantai atas, yang dulunya adalah mataku memata-matai dunia luar yang membosankan, kini seperti mata tua yang berkedip perlahan, mungkin terkejut melihatku kembali.
Aku ingat Ayah pernah bilang, rumah ini dibangun di atas fondasi yang terbuat dari batu bata kebohongan kecil dan mortar janji-janji yang mudah dilupakan. Aku tidak yakin apakah itu benar secara harfiah, tetapi rasanya pas.
Setiap langkah di halaman rumput yang teksturnya seperti bulu karpet bekas terasa familiar, meskipun aku tahu rumput ini punya kebiasaan tumbuh hanya saat tidak ada yang melihat, dan akan kembali ke tinggi semula begitu punggungku membalik. Ini membuat aktivitas memotong rumput menjadi semacam permainan petak umpet melawan botani.
Ruang Tamu dengan Karpet yang Berpindah Sendiri
Memasuki rumah, aroma khas menyeruak: campuran debu yang aristokratik, sedikit bau bunga melati yang diseduh dengan teh pahit, dan wangi samar kertas koran lama yang membaca dirinya sendiri di sudut.
Ruang tamu menyambutku. Inilah tempat di mana karpetya, karpetpunya kehendak bebas. Karpet Persia berwarna merah marun dengan motif yang rumit itu bukan hanya hiasan lantai; ia adalah entitas yang gelisah.
Saat aku kecil, karpet ini sering kali bergerak sedikit saat kami sedang mengobrol serius. Misalnya, jika Ayah mencoba menjelaskan fisika kuantum menggunakan analogi semangkuk bakso, karpet akan pelan-pelan bergeser ke kanan, seolah ingin menghindari kebingungan yang akan datang.
Jika Ibu membahas resep rendang warisan nenek buyut yang hanya bisa dimasak di bawah cahaya bulan purnama dengan kuali yang pernah mendengar pengakuan dosa, karpet akan menggulung sudutnya sedikit, mungkin karena geli.
Pernah suatu kali, aku dan adikku bertengkar hebat soal siapa yang berhak memakan kue nastar terakhir. Karpet itu, dalam protes diamnya terhadap drama yang tidak perlu, perlahan mengapung setinggi lutut, memaksa kami untuk menyelesaikan konflik dengan melompat-lompat di bawahnya seperti sedang menghindari air bah yang lambat.
Itu adalah momen di mana aku belajar pentingnya kompromi, atau setidaknya, pentingnya tidak membuat karpet rumah kesal.
Sofa beludru berwarna hijau zamrud yang selalu terasa dingin itu masih ada, menyimpan memori tentang saat-saat aku menghabiskan waktu berjam-jam membaca komik pahlawan super lokal bernama "Kapten Selimut" (seorang pahlawan yang kekuatannya adalah membuat siapa pun merasa nyaman dan mengantuk tak tertahankan).
Di atas meja kopi, yang kakinya tidak rata dan harus diganjal tumpukan buku petunjuk penggunaan blender yang tidak pernah dibaca, terdapat vas bunga kosong yang selalu terlihat seperti baru saja melepaskan seikat bunga yang mekar sebentar lalu memutuskan bahwa mekar itu terlalu melelahkan.
Dapur yang Memasak Perasaan, Bukan Hanya Makanan
Dapur rumah ini adalah jantung yang berdenyut dengan emosi. Bukan, ini bukan metafora puitis. Dapur inisungguhanmemasak perasaan. Saat Ibu sedang bahagia, sup ayam yang dibuatnya akan terasa seperti pelukan hangat dan mengandung sedikit gelembung tawa.
Saat Ayah sedang stres karena tagihan listrik yang tiba-tiba melonjak (mungkin karena karpet di ruang tamu menggunakan energi tersembunyi untuk bergerak), nasi goreng yang dimasaknya akan sedikit gosong di pinggirnya, seperti sisa-sisa kekhawatiran yang menempel.
Kompor gasnya, yang punya nama panggilan sayang "Si Mendidih Emosional," terkadang akan menyala dengan api berwarna biru pucat saat ada kebingungan di udara, atau oranye menyala seperti amarah yang meledak-ledak saat ada yang menjatuhkan piring.
Ovennya, yang dijuluki "Kotak Penyesalan Manis," hanya bisa digunakan untuk memanggang kue jika adonannya dicampur dengan setidaknya tiga tetes air mata rindu akan masa lalu yang ideal. Kue-kue yang dihasilkan rasanya memang luar biasa, manisnya sedikit melankolis.
Peralatan makan di sini juga punya kepribadian unik. Sendok garpu sering kali bertengkar di dalam laci, menimbulkan bunyi dentingan yang terdengar seperti debat filosofis tentang fungsi eksistensi mereka. Pisau dapur yang paling tajam memiliki kecenderungan untuk bersembunyi di saat-saat genting, mungkin karena ia tidak suka tekanan.
Piring-piring di rak, terutama yang bergambar ayam jago, terkadang berbisik satu sama lain tentang gosip terbaru yang mereka dengar dari percakapan di meja makan.
Aku teringat sore itu, saat aku pertama kali mencoba memasak sendiri telur mata sapi. Aku sedang merasa sedikit kecewa karena teman-teman tidak datang ke pesta ulang tahunku yang direncanakan dadakan. Minyak di wajan berdesis bukan hanya karena panas, tetapi juga dengan nada simpati yang samar.
Telur yang pecah di wajan terlihat sedikit sedih, dan hasil akhirnya terasa seperti campuran telur dan sedikit perasaan tidak diinginkan. Ayah memakannya dengan wajah datar dan berkomentar, "Rasa ini... seperti mendengarkan lagu dangdut sedih sambil antre di bank." Begitulah cara dapur kami berkomunikasi.
Ruang Kerja Ayah: Simfoni Sendok dan Teori Kopi
Ruang kerja Ayah adalah tempat di mana logika mencoba bertahan hidup di tengah kekacauan yang elegan. Dindingnya dipenuhi rak buku yang isinya tidak hanya buku, tetapi juga cangkir kopi bekas, miniatur kapal layar yang separuh jadi, dan koleksi batu-batu aneh yang ia klaim memiliki kemampuan mendengarkan frekuensi radio dari planet tetangga.
Ayah menghabiskan banyak waktu di sana, konon sedang "bekerja". Tapi aku lebih sering mendengarnya mengatur koleksi sendoknya. Ayah punya koleksi sendok dari seluruh dunia, masing-masing dengan cerita (atau setidaknya, Ayah menciptakan cerita untuk mereka).
Sendok dari Portugal yang konon pernah diaduk oleh pelaut yang mencari Atlantik yang hilang, sendok dari Jepang yang katanya digunakan untuk menyeruput sup misodi kuil yang dijaga rubah berbicara, dan sendok plastik dari restoran cepat saji lokal yang ia anggap paling misterius karena tidak meninggalkan jejak digital apa pun.
Ritual Ayah adalah memainkan "Simfoni Sendok". Menggunakan palu karet kecil, ia akan mengetuk sendok-sendok itu dengan urutan tertentu, menghasilkan nada-nada yang menurutnya mewakili data dari alam semesta yang dikirim melalui gelombang mikro yang entah bagaimana terserap oleh logam sendok.
Kami, keluarganya, hanya mendengarkan dengan sopan, mengangguk seolah memahami bahwa dentingan sendok makan diiringi suara jangkrik di luar jendela adalah kunci untuk memecahkan teka-teki gravitasi atau menemukan tempat parkir yang sempurna di hari Sabtu.
Di sudut ruangan, ada mesin kopi kuno yang terus-menerus meneteskan cairan hitam pekat. Ayah percaya bahwa kopi ini bukan hanya minuman, tetapi juga medium untuk berkomunikasi dengan ide-ide besar yang mengambang di eter.
Setiap tegukan adalah percakapan singkat dengan Pythagoras yang sedang frustrasi atau Marie Curie yang mencari resep kue yang lebih baik. Aromanya memenuhi rumah, campuran kafein, kertas tua, dan ambisi yang sedikit terlalu besar untuk ruang seluas 3x4 meter itu.
Baca juga: Gemuruh Kok di Antara Dua Semesta Senja
Kamar Ibu: Awan Rajutan dan Bisikan Kain
Kamar Ibu adalah kebalikannya. Jika ruang Ayah penuh dengan logika yang dipelintir, kamar Ibu adalah tempat di mana imajinasi hidup bebas, sering kali dalam bentuk rajutan. Ibu adalah perajut ulung. Ia tidak hanya merajut syal atau sweter, tetapi juga merajut konsep abstrak. Pernah ia merajut "kekhawatiran akan hari Senin pagi," yang hasilnya adalah sarung bantal berwarna abu-abu dengan pola yang terlihat seperti ekspresi wajah cemas.
Proyek terbesarnya, yang menghabiskan bertahun-tahun, adalah merajut awan. Ya, awan betulan. Ia mengumpulkan benang dari berbagai sumberbulu domba yang bermimpi menjadi meteor, serat kapas yang tumbuh di ladang yang pernah dikunjungi alien yang sopan, benang nilon dari jaring ikan yang menangkap sebotol pesan berisi resep rahasia kerupuk.
Awan itu mengambang di tengah kamar, berukuran cukup besar untuk menaungi sebagian ranjangnya. Terkadang, awan itu akan "menangis" gerimis kecil berupa serpihan benang wol saat Ibu merasa sedikit sedih.
Kain-kain di kamar Ibu juga punya cerita. Gorden jendela, yang terbuat dari bahan yang konon dicelup di sungai yang mengalirkan suara-suara masa lalu, sering kali berdesir bukan hanya karena angin, tetapi karena sedang menceritakan kembali percakapan antara orang tua Ayah berpuluh-puluh tahun lalu. Seprai di ranjang, yang terbuat dari katun yang ditanam di tanah yang disiram air mata tawa, terasa nyaman bukan main, dan konon bisa memberikan mimpi indah yang dipesan.
Aku ingat saat aku demam tinggi waktu kecil. Ibu merajut selimut berwarna pelangi yang ia sebut "Perisai Demam Ringan." Saat aku memakainya, selimut itu terasa sedikit menggelitik, seperti bisikan ribuan benang yang berusaha mengalihkan perhatian demam dari tubuhku.
Aku tidak tahu apakah itu sihir atau hanya kehangatan rajutan tangan Ibu, tetapi demamku memang turun esok harinya. Selimut itu masih ada, terlipat rapi di lemari pakaian Ibu, menunggu untuk melindungi dari penyakit yang mungkin belum ditemukan.
Kebun Kekecewaan Ringan
Di belakang rumah ada kebun. Tapi kebun ini tidak menanam sayuran atau buah-buahan biasa. Kebun ini menanam "kekecewaan ringan". Misalnya, ada deretan tanaman yang menghasilkan "buah" berbentuk seperti janji teman yang lupa datang ke janji main, rasanya sedikit hambar dan teksturnya agak lembek. Ada juga semak-semak yang menumbuhkan "bunga" berbentuk seperti harapan palsu saat mengikuti undian berhadiah, warnanya cerah tapi kelopaknya mudah rontok.
Pohon mangga di sudut kebun menghasilkan mangga yang rasanya bervariasi tergantung pada tingkat optimisme orang yang memetiknya. Jika kamu memetiknya saat sedang merasa sangat positif, rasanya akan manis luar biasa. Jika kamu memetiknya saat sedang pesimis, rasanya akan seperti mangga yang belum matang tapi sekaligus terlalu matangsebuah paradoks rasa yang membuat lidah bingung.
Merawat kebun ini butuh perhatian khusus. Kamu tidak bisa menyiramnya hanya dengan air; kamu harus mencampurnya dengan sedikit air mata penyesalan karena terlambat bangun pagi atau frustrasi karena mencari benda yang ternyata ada di depan mata. Pupuknya adalah campuran tanah dan janji pada diri sendiri untuk mulai berolahraga besok.
Di tengah kebun, ada bangku taman yang terbuat dari besi tempa. Bangku ini punya kebiasaan bergetar pelan setiap kali ada orang yang duduk di sana sambil memikirkan kesalahan masa lalu yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Getarannya tidak mengganggu, lebih seperti pijatan lembut yang mengingatkan bahwa tidak apa-apa membuat kesalahan, asalkan itu kekecewaan ringan dan bukan penyesalan besar yang akan tumbuh menjadi pohon beringin raksasa yang menghalangi cahaya matahari.
Loteng Memori yang Mengambang
Salah satu tempat paling ajaib (atau membingungkan) di rumah ini adalah loteng. Ayah menyebutnya "Pusat Data Nostalgia". Loteng ini bukan sekadar tempat menyimpan barang-barang lama; di sini, memori-memori dari penghuni rumah (dan mungkin beberapa orang lain yang pernah lewat) berwujud fisik dan mengambang di udara.
Saat kamu membuka pintu loteng, kamu akan disambut oleh kabut berkilauan. Itu adalah sisa-sisa memori yang sedang "diproses". Di antara kabut itu, kamu bisa melihat wujud-wujud samar: tawa yang mengkristal menjadi kristal kecil yang berputar, bisikan rahasia yang berubah menjadi benang sutra berwarna-warni, atau momen canggung yang mengeras menjadi balok-balok transparan yang mengapung lambat.
Ada rak-rak tinggi di loteng, tetapi rak-rak itu bukan untuk barang fisik. Mereka untuk "menyimpan" memori yang sudah "stabil". Kamu bisa melihat memori tentang ulang tahun pertama Ayah yang berubah menjadi koleksi balon helium yang tidak pernah kempes.
Memori saat Ibu pertama kali belajar naik sepeda yang berbentuk seperti sepeda mini yang terus bergerak melambat di udara. Atau memori saat aku pertama kali memenangkan lomba makan kerupuk yang berwujud piring kerupuk kosong yang melayang dan memancarkan cahaya kemenangan redup.
Baca juga: Kebebasan dari Desingan Faktual
Menghabiskan waktu di loteng terasa seperti berenang dalam kolam renang yang terbuat dari waktu. Terkadang, kamu bisa tidak sengaja menabrak sebuah memori dan merasakannya sekilasrasa es krim stroberi yang sudah tidak dijual, bau parfum nenek, atau sensasi pasir di jari kaki saat liburan di pantai.
Ini adalah tempat yang indah, sekaligus sedikit menakutkan, karena kamu tidak pernah tahu memori apa yang akan kamu temukan atau memori dirimu yang mana yang akan mengambang di sana setelah kamu pergi. Ayah pernah bilang, "Loteng ini bukti bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar pergi, ia hanya menunggu di tempat yang tinggi, penuh debu, dan sedikit menakutkan."
Kehidupan Sehari-hari dan Tamu yang Aneh
Hidup di rumah ini adalah serangkaian kejadian absurd yang diterima dengan normalitas yang mencengangkan. Sarapan sering kali diinterupsi oleh karpet yang memutuskan untuk membuat formasi "segitiga kebingungan" di bawah meja makn.
Ayah akan mengangguk dan melanjutkan membaca koran, sementara Ibu akan dengan santai meminta, "Bisakah karpetnya geser sedikit? Sendokku jatuh ke dalam celah dimensi mini di sana."
Tamu yang datang ke rumah ini juga harus siap. Ada tetangga kami, Pak Jono, yang punya hobi mengoleksi suara-suara aneh. Ia sering datang untuk "merekam" bunyi karpet yang bergeser atau desisan simpati dari wajan.
Ada juga Ibu Ningsih, yang punya kemampuan berbicara dengan tanaman kekecewaan ringan di kebun. Ia bilang, tanaman itu butuh didengarkan keluh kesahnya agar bisa tumbuh dengan baik.
Pernah suatu kali, ada teknisi yang datang untuk memperbaiki televisi yang layarnya menampilkan siaran dari tahun 1980-an secara acak. Teknisi itu, seorang pemuda yang terlihat sudah menyerah pada keanehan dunia, hanya menggaruk kepalanya melihat awan rajutan Ibu yang meneteskan gerimis benang.
Saat ia mencoba mencari stop kontak, ia tersandung oleh balok memori canggung yang mengapung di loteng (pintu loteng tidak sengaja terbuka), dan ia hanya bergumam, "Oke, TV tahun '80-an itu yang paling normal di sini," sebelum buru-buru pergi dan tidak pernah kembali.
Bahkan hewan peliharaan kami, seekor kucing oranye bernama Oren yang punya kebiasaan duduk tegak di sofa dan menatap ke kejauhan seolah sedang menunggu bus yang tidak pernah tiba, menunjukkan perilaku aneh. Oren sering kali "menangkap" benang-benang bisikan rahasia yang melayang di loteng dan membawanya ke ruang tamu, lalu mempersembahkannya kepada kami dengan bangga, seolah itu tikus.
Meninggalkan Rumah (Atau Mungkin Rumah yang Meninggalkan Aku?)
Setelah bertahun-tahun, aku akhirnya memutuskan untuk pindah dan hidup mandiri. Perpisahan dengan rumah ini bukanlah perpisahan yang mudah. Saat aku mengepak barang-barang, dinding kamar tidurku (yang punya pola wallpaper yang berubah menjadi gambar-gambar yang aku pikirkan saat sedang tidur) perlahan berubah menjadi lukisan abstrak yang terlihat seperti campuran kesedihan dan antusiasme yang campur aduk.
Saat aku melangkah keluar gerbang pagar berduri nostalgia untuk terakhir kalinya, aku melihat ke belakang. Rumah itu tampak... berbeda. Mungkin itu hanya perasaan, atau mungkin rumah itu memang sedikit berubah bentuk, menyesuaikan diri dengan ketiadaan salah satu penghuninya.
Karpet di ruang tamu terlihat sedikit lebih tenang, awan rajutan Ibu sedikit lebih padat, dan kebun kekecewaan ringan menghasilkan buah yang sedikit lebih manis dari biasanya, seolah mereka sedang berusaha menghibur.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada rumah itu setelah aku pergi. Apakah Ayah terus memainkan simfoni sendoknya? Apakah Ibu berhasil merajut matahari terbenam? Apakah loteng memori terus mengumpulkan pengalaman baru? Mungkin rumah itu sendiri yang memutuskan untuk pindah, bergeser ke dimensi lain di mana karpet yang bergerak dan dapur yang memasak perasaan adalah hal yang lumrah.
Yang aku tahu, rumah itu adalah tempat yang indah. Keindahannya bukan pada arsitektur yang megah atau perabotan yang mahal, tetapi pada keanehan yang hangat, pada logika yang dipelintir dengan kasih sayang, dan pada kenyataan bahwa ia menerima segala sesuatu yang aneh sebagai bagian alami dari kehidupan.
Editor : Redaksi Sanubari