Makna dibalik insiden ketinggalan pesawat

Penantian Sebuah Gerbang yang Memiliki Pemikiran Sendiri

sanubari.co.id

Mengalami ketinggalan pesawat biasanya diwarnai kepanikan, rasa frustrasi, atau setidaknya, keterkejutan yang sah. Namun, bagi Jajang Sumarsana, kejadian ini selalu menjadi babak baru dalam episode komedi absurd yang ia namakan: "Perjalanan Hidup Tak Terduga".

Kali ini, alasannya sungguh di luar nalar. Bahkan bagi orang yang sudah terbiasa dengan segala keanehannya.

Baca juga: Mencari Asal-Usul Ketidaksempurnaan Sebutir Remahan Biskuit Waktu

Perdebatan Filosofis dengan Komodo Peliharaan

Semua bermula saat Jajang, seorang kolektor sandal jepit kiri dan penasihat spiritual lalat buah, sedang dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Cendekiawan Absurd. Tujuannya adalah mengejar penerbangan pukul 07.00 pagi ke Pulau Kertas, tempat festival layang-layang tanpa benang diselenggarakan.

Namun, di tikungan jalan yang seharusnya lurus menuju gerbang bandara, ia dihadang oleh Sastro, komodo peliharaan tetangganya yang entah bagaimana lepas dan membawa sebuah papan tulis kecil.

Sastro menuntut penjelasan Jajang tentang paradoks Achilles dan Kura-kura. Namun dengan perspektif kebiasaan reptil dalam mencerna santapan.

"Jadi, Pak Jajang," desis Sastro, menunjuk dengan cakar ke gambar kura-kura di papan tulis.

"jika kura-kura adalah sebuah pesawat dan Anda adalah penumpang yang mengejarnya, bukankah Anda akan terus mendekat tanpa pernah benar-benar mencapainya, karena setiap langkah Anda hanya menciptakan titik tengah baru yang harus dilampaui?"

Jajang, yang selalu menganggap setiap makhluk hidup adalah guru potensial, merasa wajib menjawab argumen yang "mendasar" ini. Dua jam dihabiskan untuk berdiskusi tentang relativitas gerakan dan kecepatan mengunyah kerupuk, yang rupanya sangat relevan bagi Sastro.

Respons yang Sudah Terbiasa

Ketika akhirnya Jajang tiba di konter check-in dengan napas terengah-engah. Bau reptil samar. Ia disambut oleh Mbak Sri, petugas check-in yang wajahnya sudah hafal dengan jadwal missed flight Bapak Jajang.

"Oh, Pak Jajang," ujar Mbak Sri sambil membolak-balik lembar jadwal dengan jari yang malas.

"penerbangan Anda ke Pulau Kertas sudah lepas landas lima belas menit yang lalu. Sastro lagi ya?" Ia bahkan tidak menunggu jawaban, langsung mencoret nama Jajang dari daftar penumpang.

Jajang mengangguk, mengusap keringat di dahinya. "Ia sedang kritis tentang konsep 'tiba di tujuan'. Agak sulit menjelaskan bahwa tujuan itu bukan hanya titik, tapi juga pengalaman menuju titik tersebut, terutama saat Anda terburu-buru mengejar pesawat."

Baca juga: Gemuruh Kok di Antara Dua Semesta Senja

Seorang pramugari yang lewat hanya tersenyum dan berkata: "Salut, Pak Jajang. Jarang ada yang bisa berdebat dengan Sastro lebih dari sepuluh menit tanpa tergoda untuk menawarkan makanan ringan."

Situasi yang bagi orang lain akan memicu amukan, bagi Bapak Jajang dan staf bandara adalah interaksi yang lazim.

Alternatif Penerbangan yang Tidak Lazim

Tidak patah arang, Jajang mulai mencari alternatif. Pertama, ia mencoba menyewa "Burung Unta Kurir Cepat" dari sebuah perusahaan jasa pengiriman yang konon memiliki armada unggas yang telah dilatih secara khusus untuk rute udara pendek. Sayangnya, Burung Unta bernama 'Blitz' sedang mogok kerja. Karena menuntut kenaikan gaji berupa biji bunga matahari organik.

Kemudian, ia melihat sebuah spanduk promosi "Terowongan Lompat Jarak Sementara" yang dijajakan oleh sepasang pemuda berkacamata tebal di pojok bandara.

"Cukup bayar seharga tiket ekonomi, Anda bisa 'melompat' ke bandara tujuan dalam sekejap," jelas salah satunya.

Penasaran. Jajang mencobanya. Ia melangkah ke dalam sebuah kotak kardus berlampu kelap-kelip. Namun, alih-alih tiba di Pulau Kertas, ia justru muncul di dalam toilet bandara yang sama, lima menit di masa depan, tepat ketika seorang petugas kebersihan sedang memarahi keset yang basah.

Baca juga: Rumah yang Mengingat Lebih dari Pemiliknya

Penantian yang Mengajarkan Makna

Setelah serangkaian upaya yang berakhir dengan kegagalan absurd (termasuk mencoba meyakinkan seekor merpati bandara untuk membawanya, dengan imbalan remah biskuit), Jajang akhirnya duduk di bangku tunggu.

Ia menyadari sesuatu yang mendalam. Ketinggalan pesawat ini bukan sekadar insiden, melainkan sebuah kesempatan. Kesempatan untuk tidak terburu-buru. Untuk mengamati dunia dengan keanehan yang lebih detail.

Ia memesan semangkuk bakso dan mulai bercakap-cakap dengan seekor tikus bandara yang penasaran, membahas seluk-beluk kuah kaldu yang baik.

Ia menemukan bahwa, terkadang, tujuan sebenarnya dari sebuah perjalanan bukanlah tempat, melainkan proses penantian itu sendiri. Sebuah penantian yang diisi dengan perdebatan filosofis dengan komodo, negosiasi dengan burung unta, dan obrolan tentang sup dengan tikus. (*)

 

Editor : Redaksi Sanubari

Serba Serbi
Berita Populer
Berita Terbaru