Di jantung Dataran Lembah Pustaka, terhampar Kota Sunyapura. Sebuah permukiman yang dari udara, tampak seperti maket arsitek yang baru selesai dibangun: bersih, rapi, dan anehnya, sangat, sangat sepi.
---------------------
Baca juga: Senandung Sumsum dan Sumpah Serapah
Profesor Kresna, seorang ahli urbanologi yang khusus meneliti "anomali tata kota dan pola migrasi yang tidak masuk akal", tiba dengan kendaraan amfibi serbaguna miliknya: "Si Pelik".
Ketenangan di Sunyapura bukanlah jenis sepi yang menyeramkan. Melainkan sepi yang... perfeksionis.
Ekspedisi Senyap di Sudut Kota
Profesor Kresna melangkah keluar dari Si Pelik. Helm penekan gema otomatisnya sudah terpasang. Ia bukan takut suara. Lebih pada menghargai suasana. Sunyapura memang kota yang aneh.
Lampu jalan menyala terang di siang hari, seolah sedang menunggu parade yang tak pernah datang. Jendela kaca rumah-rumah modern berkilauan, memantulkan langit biru yang tak bercela.
Tidak ada sampah. Tidak ada coretan. Bahkan tidak ada satu pun daun kering yang jatuh sembarangan. Pohon-pohon di taman kota tampak seperti baru saja disikat dan diberi pewangi. Prof Kresna mengamati sebuah kafe dengan pintu terbuka lebar. Aroma kopi pahit segar melayang keluar.
Di meja barista, cangkir-cangkir kopi panas tersusun rapi. Uapnya masih mengepul pelan. "Aneh sekali," gumam Prof. Kresna, lebih kepada dirinya sendiri daripada ke udara kosong.
"Kopi ini... ini kopi yang sungguh segar. Seperti baru saja diseduh oleh barista hantu yang sangat efisien."
Ia memeriksa salah satu cangkir. Susu latte art berbentuk angsa masih sempurna. Tanpa sentuhan. Prof. Kresna menduga ini adalah bagian dari sistem pemeliharaan kota yang terlalu bersemangat, sebuah demonstrasi kesiapan yang berkelanjutan.
Ia berjalan menyusuri sebuah jalan raya enam jalur yang mulus. Begitu bersih hingga bisa digunakan sebagai cermin. Tidak ada kendaraan. Tidak ada jejak ban. Hanya garis marka yang tampak baru saja dicat ulang.
Sebuah lampu lalu lintas berkedip hijau. Lalu kuning. Lalu merah, seolah menjalankan ritual tanpa penonton. "Dedikasi yang patut diacungi jempol," ujarnya sambil mengangguk. "Sungguh, efisiensi tanpa tujuan adalah bentuk seni modern yang paling murni."
Logika Absurditas Optimal
Penelitian Prof. Kresna membawanya ke pusat arsip kota. Sebuah bangunan silinder dari baja anti-gema yang tampak seperti kapsul raksasa. Di dalamnya, ribuan data digital tersimpan rapi, menunggu untuk diakses.
Setelah beberapa kali sentuhan pada panel layar yang responsif, Prof. Kresna menemukan akar masalah (atau, dalam kasus ini, akar solusi) dari Sunyapura.
Kota ini, yang didirikan pada masa puncak gerakan "Zen Urbanisme Minimalis", awalnya adalah sebuah eksperimen sosial bernama "Pusat Ketenangan Optimal".
Misinya?
Menciptakan lingkungan perkotaan paling sunyi dan damai di muka bumi. Para insinyur, arsitek, dan ahli psikologi bekerja sama menciptakan teknologi peredam suara paling canggih. Material bangunan anti-gema. Serta sistem lalu lintas yang sepenuhnya otomatis serta nyaris tak bersuara.
Bahkan air mancur di taman didesain agar percikannya menghasilkan gelombang suara yang berada di bawah ambang pendengaran manusia.
"Sungguh ambisius," bisik Prof. Kresna membaca laporan lama.
Baca juga: Maksimalkan Potensi Wisata Bontang Kuala
"Mereka bahkan mengembangkan 'Paving Kaki Bisu' agar langkah pejalan kaki pun tidak mengganggu ketenangan," gumamnya.
Laporan itu menjelaskan bagaimana penduduk awal Sunyapura, yang semuanya adalah penganut "Ketentraman Sejati". Menikmati hidup tanpa deru mesin, tanpa hiruk pikuk percakapan. Tanpa tangisan bayi. Bahkan tanpa gesekan kain.
Mereka berkomunikasi melalui bahasa isyarat paling halus atau telepati yang dibantu perangkat, yang entah bagaimana, hanya ada di sini.
Namun, inilah puncak absurditasnya: kesunyian di Sunyapura menjadi terlalu sempurna. Warga, yang terbiasa dengan tingkat ketenangan yang absolut, mulai mengembangkan kepekaan ekstrem terhadap suara.
Bisikan angin pun terasa seperti badai salju di telinga mereka. Gesekan sepatu di "Paving Kaki Bisu" terdengar seperti guntur. Dan yang paling parah, potensi suara yang dihasilkan oleh keberadaan manusia lain menjadi gangguan terbesar.
"Tertulis di sini," Prof. Kresna membaca dari catatan seorang penduduk lama.
"Meskipun tetangga kami adalah pribadi yang paling hening, ide bahwa mereka ada di balik tembok dan mungkin suatu hari batuk atau menjatuhkan sendok. Itu adalah beban yang tak tertahankan bagi jiwa yang haus kesunyian sejati,"
Evakuasi demi Kekosongan yang Lebih Mendalam
Maka, penduduk Sunyapura mengambil langkah logis berikutnya: mereka memutuskan untuk "bermigrasi ke dalam diri."
Mereka mengembangkan "Kapsul Kesunyian Personal" (KKP) yang sangat canggih. Yaitu semacam mikro-permukiman mandiri seukuran apartemen studio. Sepenuhnya kedap suara. Kedap cahaya. Serta kedap interaksi sosial.
Baca juga: Penantian Sebuah Gerbang yang Memiliki Pemikiran Sendiri
Setiap KKP ini kemudian diluncurkan secara independen ke seluruh penjuru dataran. Jauh dari jangkauan KKP lainnya. Menciptakan sebuah diaspora kesendirian yang ekstrem.
"Mereka tidak pindah dari Sunyapura," Prof. Kresna terkekeh.
"Mereka pindah melalui Sunyapura menuju versi diri mereka sendiri yang lebih sunyi."
Kota Sunyapura yang megah, dirancang untuk kesunyian. Kini menjadi kosong karena kesunyian di dalamnya tidak lagi memenuhi standar: "kesunyian total". Hanya bisa dicapai di tengah antah-berantah, sendirian, dalam sebuah KKP pribadi.
Prof. Kresna mematikan panel arsip. Dia melihat sekeliling lobi arsip yang hening. Tidak ada gema dari tawa atau bisikan. Bahkan suara napasnya sendiri terasa terlalu keras di telinganya.
"Ini bukan kota yang tak berpenghuni karena bencana," ujarnya perlahan.
"Ini kota yang tak berpenghuni karena kesuksesan yang berlebihan. Karena manusia, dalam pengejaran idealismenya, seringkali melampaui batas kewarasan," tambanya lagi.
Ia menduga, di luar sana, ribuan KKP sedang melayang-layang. Masing-masing dihuni oleh seorang individu yang sangat, sangat tenang, dan sangat, sangat sendiri. Mungkin menikmati desiran aliran darah mereka sendiri sebagai simfoni alam semesta.
Profesor Kresna menuliskan judul baru untuk disertasinya: "Paradoks Solitude Kolektif: Studi Kasus Kota Sunyapura dan Kemenangan Hening yang Membawa Kekosongan,". (*)
Editor : Redaksi Sanubari