Musim Hujan Enggan Berubah Menjadi Kemarau

Awan yang Mengambang Terlalu Nyaman di Atas Kota

sanubari.co.id
Ilustrasi kota yang selalu diguyur hujan.

Di Kota Mendung Jaya, kalender adalah konsep usang. Lebih sering digunakan sebagai alas piring kotor. Musim panas, atau yang dulu dikenal sebagai "masa ketika kaus kaki bisa kering sepenuhnya," telah menjadi mitos urban, bisikan dari masa lalu yang hangat dan kering.

---------------

Baca juga: Misteri Metropolis Mikrofon Mati

HUJAN telah mengguyur tanpa henti selama delapan belan terakhir. Mengubah jalanan menjadi jalur perahu karet mini. Membuat profesi pembuat payung lipat merangkap tukang servis detektor jamur merajalela.

Warga Mendung Jaya tidak lagi mengucapkan "selamat pagi," melainkan "semoga kelembapan hari ini tidak terlalu mengganggu sendi-sendi Anda."

Hujan Tak Henti dan Kopi Dingin

Gerimis yang tak pernah reda telah menumbuhkan lumut di tempat-tempat yang tak terduga. Seperti dalam cangkir teh yang ditinggalkan semalam atau di sela-sela pikiran optimis seorang warga.

Ratih, pemilik kedai kopi "Titik Embun", kini hanya menyajikan kopi dingin. Bukan karena tren. Melainkan karena setiap kali ia mencoba merebus air, uapnya akan berkondensasi dan kembali menjadi air di dalam ketel. Menciptakan siklus tanpa akhir dari upaya yang sia-sia.

Payung adalah perpanjangan anggota tubuh. Sepatu bot karet adalah alas kaki resmi untuk segala acara. Termasuk pernikahan. Anak-anak yang lahir di era hujan abadi ini bahkan mengira matahari adalah sejenis lampu sorot raksasa. Hanya menyala di iklan sabun cuci piring.

Kondisi ini, meski secara ironis memberi nama Mendung Jaya makna baru, mulai menimbulkan keresahan komikal. Tarno, kepala RW 03, mengeluh bahwa antena TV-nya kini berfungsi ganda: sebagai tiang panjat bibit kacang-kacangan.

"Saya rindu mendengar siaran berita tanpa suara tetesan air di atap," keluhnya pada rapat darurat komunitas, yang diadakan di dalam tenda raksasa tahan air.

"Kita butuh solusi, atau kita akan berubah menjadi manusia amfibi yang mengoleksi jamur langka!," tambahnya lagi.

Profesor Aguan dan Teori "Keengganan Atmosfer"

Di tengah keputusasaan basah itu, muncul Profesor Aguan. Bukan seorang ahli meteorologi biasa. Melainkan seorang "Ahli Iklim Terapan". Itu merupakan gelar tak resmi dari Akademi Imajinasi Kolektif yang sangat dihormatinya sendiri.

Aguan dikenal atas teori-teorinya yang cemerlang. Tidak konvensional. Seperti "Fenomena Kondensasi Kerinduan" atau "Efek Rumah Kaca yang Terpicu Gosip Tetangga."

Profesor Aguan, dengan jenggotnya yang selalu lembap dan kacamata beruap, berdiri di depan warga yang basah kuyup.

"Saudara-saudari sekalian," katanya, suaranya menggelegar meski teredam rintik hujan.

"Musim hujan ini bukan sekadar anomali iklim. Ini adalah manifestasi dari 'Atmosferic Laziness Syndrome' atau, dalam bahasa awam, Sindrom Keengganan Atmosfer Terminal!," serunya.

Ia menjelaskan bahwa awan-awan di atas Mendung Jaya, khususnya "Awan Induk Raksasa Penjaga" yang ia namakan "Si Megah Berawan," telah tumbuh terlalu nyaman.

"Kita, warga Mendung Jaya, dengan rutinitas kita yang damai. Aroma kopi dingin Bu Ratih yang khas. Dengung samar generator Pak Tarno di malam hari, telah menciptakan zona nyaman tak terhingga bagi Si Megah Berawan," jelas Aguan.

"Ia merasa betah. Enggan bergeser. Terus melimpahkan 'kebahagiaan kondensasinya' kepada kita!," tegasnya.

Solusinya, menurutnya, bukan mengusir awan. Tetapi mendidiknya dengan "ketidaknyamanan yang relatif."

Proyek "Pengusir Sunyi" Skala Kota

Profesor Aguan mengusulkan "Proyek Pengusir Sunyi": sebuah inisiatif komunitas untuk menciptakan pola suara berfrekuensi rendah yang konstan. Sedikit sumbang. Serta secara halus mengganggu. Tetapi tidak cukup keras untuk dianggap sebagai kebisingan.

Baca juga: Senandung Sumsum dan Sumpah Serapah

"Kita tidak akan mengusirnya dengan paksa," kata Aguan penuh percaya diri.

"Kita akan membuatnya berpikir bahwa ada hal-hal lain di luar sana yang lebih menarik daripada selimut kelembapan Kota Mendung Jaya."

Setiap rumah diberi kotak resonansi sederhana yang menghasilkan dengungan "Mmmmm-ngggg" yang nyaris tidak terdengar. Seperti kumbang raksasa yang sedang bermeditasi.

Setiap warga diminta untuk secara acak dan tidak terduga mengucapkan frasa pendek yang tidak masuk akal. Seperti "Kentang goreng tanpa saus adalah tragedi kosmik!" atau "Apakah kucing bisa berpikir dua kali?" dengan nada datar, tiga kali sehari.

Tujuannya adalah membuat awan merasa bahwa Mendung Jaya terlalu "aneh" dan "menyebalkan" untuk terus ditinggali.

Minggu pertama proyek, awan memang tampak enggan. Hujan sedikit mereda. Namun digantikan oleh gerimis yang terasa sedikit lengket --seperti air gula yang tumpah dari langit.

Profesor Aguan menafsirkannya sebagai "respons awal penolakan, awan mencoba membuat kita tak nyaman." Namun, seminggu kemudian, fenomena aneh terjadi.

Musim Panas yang Basah, Hangat, dan Penuh Keajaiban Mikro

Hujan tidak berhenti. Tapi ia berubah. Gerimis lengket itu kini menjadi hujan yang hangat. Nyaris seperti mandi uap alami.

Tidak hanya itu, setiap tetesan air membawa partikel-partikel mikro-bioluminesensi yang, saat malam tiba, membuat Kota Mendung Jaya berpendar lembut dalam nuansa biru kehijauan. Udara terasa hangat dan lembap, mirip sauna raksasa alami.

Profesor Aguan mengamati dengan mata berbinar.

Baca juga: Maksimalkan Potensi Wisata Bontang Kuala

"Luar biasa!," serunya.

"Si Megah Berawan tidak pergi. Ia beradaptasi!. Ia mengubah sifat hujan untuk menanggapi Diskomfort Relatif Berbasis Frekuensi Rendah' kita! Ia telah menciptakan 'Musim Panas Humid Berpendar!," ungkapnya.

Warga Mendung Jaya, setelah periode kebingungan awal, mulai menemukan keanehan ini menjadi menyenangkan. Lumut-lumut di dinding kini berpendar di malam hari. Menciptakan pemandangan artistik.

Tanaman-tanaman air eksotis mulai tumbuh subur di pot bunga biasa. Menghasilkan buah-buahan yang rasanya seperti perpaduan mangga dan jeli. Ratih mulai menyajikan "Kopi Pendar", kopi dingin yang dihiasi butiran-butiran bioluminesensi, menjadi daya tarik baru.

Pak Tarno bahkan mendapati antena TV-nya kini menarik sejenis serangga berpendar yang bisa digunakan sebagai lampu tidur alami.

Musim panas yang mereka rindukan tidak datang dalam bentuk matahari terik. Tetapi dalam kehangatan lembap dan cahaya lembut yang dipancarkan dari setiap tetesan hujan. Mereka telah belajar beradaptasi dengan keanehan yang diciptakan oleh logika aneh seorang profesor.

Harmoni Bawah Gerimis

Kehidupan di Mendung Jaya berlanjut. Kini dengan sentuhan magis yang aneh. Payung masih dibutuhkan. Tetapi sekarang fungsinya juga untuk menangkap partikel-partikel pendar yang bisa dikoleksi.

Sepatu bot karet kini memiliki fitur tambahan: sol pendar untuk menerangi jalanan malam yang basah.

Profesor Aguan, sesekali terlihat berjalan-jalan di bawah gerimis hangat berpendar. Mencatat data di buku catatannya yang anti air. Ia percaya bahwa "Si Megah Berawan" kini berada dalam fase "Kepuasan Diri yang Inovatif."

Meskipun musim hujan sejati tak pernah tergantikan oleh musim kemarau yang diharapkan, warga Mendung Jaya menemukan bahwa normal adalah soal perspektif. Terutama ketika dunia mereka sendiri memutuskan untuk berpendar di tengah gerimis yang tak berkesudahan. (*)

Editor : Redaksi Sanubari

Serba Serbi
Berita Populer
Berita Terbaru