Sekitar akhir 1940-an, Jawa Timur lebih dari sekadar tanah subur yang ditutupi oleh ladang padi yang bergetar dan lautan yang berbisik. Itu adalah sebuah bangsa kecil yang lahir dari rahim kesepakatan berdarah, konferensi Meja Bundar tahun 1949. Negara Jawa Timur lahir pada 26 November 1948 di tengah perjuangan sebuah bangsa yang masih terengah-engah pasca deklarasi. Namun, kisahnya singkat, karena ia mekar seperti bunga, hanya untuk layu dan kemudian bergabung dengan Republik Indonesia pada 25 Februari 1950. Ini adalah kisah cinta yang melahirkan harapan dan terus menggerakkan rakyat.
Bayangkan warga Jawa Timur saat itu, petani di desa, pedagang di pasar desa atau ibu-ibu yang mengayun anak kecil di beranda. Mereka baru saja merasakan embun penyegar dari kemerdekaan, dan tiba-tiba seluruh dunia mereka mulai bergetar. Belanda, yang masih ingin berpegang pada sisa-sisa kekuasaan kolonial mereka, memicu pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Jawa Timur menjadi salah satu negara konstituennya. Bagi banyak warganya, ini mirip dengan mimpi buruk mengerikan yang berlangsung terlalu lama. Kebebasan yang mereka cintai tidak hanya terasa terhambat, melainkan hancur berkeping-keping dan ditulisi oleh aturan asing. Sementara sebagian dari mereka merasa senang menjadi bagian dari itu, sisa jiwa mereka tenggelam dalam keputusasaan karena semua yang mereka cintai masih diawasi oleh bayangan kolonialis yang terus mengancam.
Di sudut-sudut kota ini seperti Surabaya, Probolinggo, dan Pasuruan, bisikan perlawanan mulai perlahan-lahan muncul. Orang-orang sangat marah. Mereka mulai berbaris, berteriak, dan melakukan segala daya untuk merobohkan rantai yang menahan mereka tertawan. Ada orang tua yang menangis mengenang perang, pemuda-pemuda yang mengangkat tongkat bambu mereka yang tajam, dan wanita yang menyanyikan lagu-lagu kebebasan. Mereka adalah orang-orang yang tidak ingin negara Jawa Timur menjadi negara boneka tetapi ingin kembali ke Republik Indonesia, ke rumah besar yang telah mereka impikan untuk tinggal sejak tahun 1945. Jeritan-jeritan itu hanya semakin keras bagaikan ombak yang tak dapat dikendalikan, hingga akhirnya, pemerintah daerah mengirimkan delegasi ke pemerintah pusat pada Januari 1950.
Puncaknya terjadi di Gedung Parlemen Jawa Timur pada tanggal 25 Februari 1950. Hari itu adalah hari yang dipenuhi air mata dan senyuman. Gubernur menyerahkan mandat dan tidak ada lagi Jawa Timur yang berdiri sendiri. Secara instan, daerah itu menjadi bagian dari Republik Indonesia. Beberapa orang mulai menarik napas dalam-dalam, seperti seorang anak yang terjebak dalam pelukan ibunya untuk pertama kalinya, membutuhkan comfort. Namun masih ada rasa sakit—perjalanan telah singkat, namun penuh emosi dengan perjuangan, pengorbanan, dan doa. Mungkin negara Jawa Timur tidak lagi dapat ditemukan di peta, tetapi kehendak rakyatnya tetap hidup, menyatu dalam pembuluh darah bangsa, menunjukkan bahwa cinta seseorang terhadap tanah airnya tidak dapat dipatahkan, bahkan untuk sementara.(*)