Di Kampung Krupuk, aroma bawang goreng lebih sakral dari wewangian parfum import. Ada sebuah kisah tentang Jono, seorang pemuda yang melabuhkan seluruh ambisinya pada sepotong ayam goreng. Sebuah kisah yang kemudian diceritakan turun-temurun sebagai pengingat akan keanehan tujuan hidup manusia.
------------------
Baca juga: Harmoni Kentang dan Kopi yang Hampir Punah
Sebuah Visi yang Tidak Konvensional
Jauh sebelum Jono dikenal sebagai “Arsitek Sistem Jaringan Pipa Bawah Tanah untuk Kopi Instan Regional” yang legendaris, ia hanyalah seorang bocah ingusan. Bocah dengan perut keroncongan dan mata yang memancarkan kerinduan akan renyahnya Ayam Goreng Mbah Karso.
Suatu sore yang lembab, di depan etalase reyot Mbah Karso, memancarkan aura minyak jelantah bak emas murni. Di sana Jono kecil berdiri termangu. Ia menatap potongan-potongan ayam yang keemasan. Kulitnya mengkilap seperti perisai pahlawan purba. Dagingnya montok menjanjikan kebahagiaan hakiki.
“Ayam itu,” gumam Jono kepada dirinya sendiri. Nadanya khidmat seperti seorang pujangga yang menemukan inspirasi abadi, “adalah puncak peradaban kuliner. Sayang sekali, dompetku saat ini lebih mirip gurun pasir yang terpencil.”
Keinginan itu tidak menguap begitu saja. Ia tidak lenyap ditelan keputusasaan. Justru, Jono menyimpannya. Bukan di saku. Bukan juga di benaknya sebagai ingatan biasa, melainkan di sebuah laci mental yang sangat rapi. Di antara folder-folder penting seperti “Teori Gravitasi Makanan Jatuh Sempurna” dan "Metode Mengikat Tali Sepatu dengan Tiga Jari Kaki.”
Ia akan rajin belajar. Pikirnya, agar ia bisa bekerja, menghasilkan uang, dan membeli ayam goreng itu. Bukan sembarang ayam. Tapi Ayam Goreng Mbah Karso. Tentunya dengan janji renyah yang bisa terdengar hingga ke kecamatan sebelah.
Kontemplasi Krispi dan Janji Akademik
Jono tumbuh menjadi siswa yang brilian. Ia menyerap pelajaran dengan kecepatan yang mencengangkan. Namun motivasinya selalu unik. Ketika teman-temannya belajar fisika untuk memahami hukum alam, Jono mendalami prinsip-prinsip aerodinamika.
Tujuannya untuk menganalisis bagaimana renyahnya kulit ayam Mbah Karso bisa terbang dengan sempurna saat dikunyah. Matematika ia kuasai untuk menghitung rasio bumbu per gram daging. Sejarah ia pelajari untuk menelusuri garis keturunan resep rahasia Mbah Karso yang konon sudah ada sejak era kolonial Belanda. Bahkan mungkin sebelum itu.
Guru-gurunya sering bingung. "Jono, mengapa kamu begitu gigih mempelajari struktur molekul lemak trans?" tanya Bu Guru Biologi suatu hari.
Jono, dengan mata berbinar, menjawab, “Agar saya bisa mengapresiasi kompleksitas minyak yang merangkul kelezatan sepotong ayam goreng, Bu. Dan juga, untuk memastikan saya tidak membuang-buang uang ketika akhirnya saya bisa membelinya."
Profesor Tarno, dosen kimianya di universitas, pernah menghela napas pasrah saat Jono bertanya: Apakah kristalisasi garam pada kulit ayam goreng bisa dikategorikan sebagai seni kontemporer yang edible. Namun, Jono tak gentar. Tekadnya sekuat lapisan tepung pada ayam Mbah Karso.
Merintis Karier, Mengukir Kekayaan, Demi Ayam
Tahun-tahun berlalu, Jono menyelesaikan studinya dengan predikat cum laude. Ia kemudian terjun ke dunia profesional. Meraih kesuksesan yang melampaui mimpi terliar siapa pun. Ia menjadi arsitek sistem jaringan pipa bawah tanah untuk Kopi Instan Regional. Suatu profesi yang terdengar sangat spesifik dan, sejujurnya, agak absurd.
Pekerjaannya melibatkan perancangan jaringan pipa kompleks yang mengalirkan konsentrat kopi instan langsung dari pabrik ke mesin-mesin dispenser di seluruh wilayah.
Memastikan suplai kafein tak terputus untuk para pekerja kantoran yang selalu terburu-buru. Gajinya melimpah ruah. Jauh di atas ekspektasi seorang bocah yang pernah mengidamkan ayam goreng.
“Uang ini,” kata Jono suatu malam kepada boneka beruang kumal peninggalan masa kecilnya, “bukan untuk investasi properti. Bukan untuk liburan mewah ke Pulau Kaktus. Jelas bukan untuk membeli saham perusahaan sabun. Uang ini adalah alat. Alat untuk mencapai tujuan utama hidup: sepotong Ayam Goreng Mbah Karso."
Baca juga: Resonansi Kuantum Si Belalang Tempur
Para koleganya sering mengamati keanehan Jono. Di antara obrolan tentang merger korporasi dan fluktuasi harga biji kopi robusta, Jono sesekali akan melamun. Senyum tipis terukir di bibirnya, membayangkan suara kriuk yang sempurna. Ia tidak pernah menghabiskan uangnya pada hal-hal remeh, semua demi hari besar itu.
Ekspedisi Kuliner Terbesar di Dunia (Setidaknya Bagi Jono)
Tibalah hari yang dinanti-nanti. Setelah dua puluh tahun menabung, belajar, dan bekerja keras, Jono akhirnya memiliki cukup uang untuk membeli Ayam Goreng Mbah Karso. Mungkin seluruh gerobak Mbah Karso, beserta hak paten resepnya jika ia mau.
Dengan setelan jas termahalnya, Jono melangkah ke arah gerobak Mbah Karso yang masih setia bertengger di pojok jalan. Ia tidak mengendarai mobil mewah. Hanya berjalan kaki, seolah menapaki jalan suci menuju kuil.
Mbah Karso, yang kini sudah beruban lebat dan mengenakan kacamata setebal pantat botol, masih menggoreng ayam dengan dedikasi yang tak tergoyahkan.
"Mbah," kata Jono, suaranya sedikit bergetar karena emosi yang tertahan selama dua dekade, "Saya ingin membeli satu potong ayam paha. Yang paling renyah, kalau boleh." Mbah Karso menatapnya skeptis.
"Cuma satu? Dengan jas semewah ini? Biasanya pembeli jas begini langsung pesan satu kotak penuh." Jono tersenyum.
“Ini bukan sembarang satu potong, Mbah. Ini adalah impian dua puluh tahun.” Mbah Karso, yang telah melihat segalanya dalam hidupnya sebagai penjual ayam goreng, hanya mengangguk pelan, seolah memahami kompleksitas di balik permintaan sederhana itu.
Puncak Kenikmatan dan Sebuah Realisasi Renyah
Jono menerima ayam gorengnya. Kehangatannya menembus bungkusan kertas minyak. Aroma bumbunya semerbak, memanggil kenangan masa kecil yang nyaris terlupakan.
Baca juga: Misteri Senyum Simfoni Listrik
Ia mencari bangku kosong di taman dekat situ. Duduk dengan hati-hati, seolah memegang permata tak ternilai. Dengan ritual yang telah ia latih dalam imajinasinya selama bertahun-tahun, ia menggigit kulit paha ayam itu.
Kriuk!
Suara itu. Benar-benar sempurna. Renyahnya pecah di mulut, melepaskan gelombang rasa gurih dan sedikit pedas yang langsung menyebar ke seluruh indra. Dagingnya empuk, juicy, dan bumbunya meresap hingga ke tulang. Ini adalah Ayam Goreng Mbah Karso. Ini adalah kebahagiaan yang ia dambakan.
Setelah potongan pertama itu, Jono mengunyah perlahan, matanya terpejam, menikmati setiap milidetik. Ia tidak terburu-buru. Ini adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, dan sebuah janji yang ditepati. Ketika gigitan terakhir habis, dan hanya tulang bersih yang tersisa di tangannya, Jono menghela nafas panjang.
"Ah," desisnya, "Luar biasa."
Kemudian, ia menatap tulang itu. Sebuah pemikiran aneh melintas di benaknya. Ia telah mencapai puncaknya. Ia telah menaklukkan Everest kuliner pribadinya. Apa lagi sekarang? Ia sudah memiliki segalanya—karier, kekayaan, dan baru saja melahap sepotong ayam goreng paling memuaskan di muka bumi.
Apakah ada keinginan lain yang layak disimpan dalam laci mentalnya selama dua puluh tahun ke depan?
Mungkin... mungkin ia harus mulai mencari resep es teh yang sempurna untuk menemani ayam goreng berikutnya. Sebuah tujuan baru. Sama absurdnya. Sama menantangnya. (*)
Editor : Redaksi Sanubari