Keajaiban kebahagiaan yang dapat mengubah hidup

Senandung Sumsum dan Sumpah Serapah

avatar sanubari.co.id
Ilustrasi pria yang memiliki tubuh kering. (AI)
Ilustrasi pria yang memiliki tubuh kering. (AI)

DI UJUNG timur Desa Gemah Ripah Loh Jinawi, sebuah nama yang ironis. Mengingat mayoritas penduduknya selalu memelototi harga cabai, hiduplah seorang pria bernama Kardi. Pria yang akrab disapa Pak Kardi itu bukan tipikal tetangga yang melemparkan senyum dan salam hangat.

Ia adalah seorang penganut teguh aliran "Pesimisme Realistis". Sebuah filosofi yang ia klaim membuatnya kebal dari kekecewaan. Meskipun wajahnya selalu cemberut seolah baru saja disuguhi kopi pahit dan berita kenaikan PBB.

Baca Juga: Maksimalkan Potensi Wisata Bontang Kuala

Beberapa waktu belakangan, ada yang aneh pada Pak Kardi. Bukan hanya tingkat kecemberutannya yang meningkat drastis. Fisiknya juga. Ia yang dulunya setinggi tiang jemuran, kini tampak menyusut sedikit demi sedikit.

Bajunya yang longgar, kini melorot di bahunya yang mulai membungkuk. Bahkan, suara gesekan tulangnya saat berjalan terdengar seperti irama klenengan gamelan yang terbuat dari krupuk.

Warga desa mulai berbisik, ada yang mengira Pak Kardi sedang mengikuti diet ekstrem ala kurcaci. Ada pula yang menduga ia terserang kutukan 'sumsum kering' dari siluman penunggu sumur tua.

Diagnosis Tulang Kering oleh Mbok Juminten

Kecemasan warga mencapai puncaknya ketika suatu pagi, saat Pak Kardi mencoba mengambil sendok teh dari laci, tangannya patah kretak seolah terbuat dari stik es krim daur ulang. Panik melanda.

Kang Maman, tetangga sebelahnya yang terkenal dengan semangat membara dan koleksi jenggot kambingnya, segera membopong Pak Kardi (yang kini seberat bulu ayam) menuju rumah Mbok Juminten, tabib non-konvensional yang reputasinya sebanding antara dukun pijat dan konsultan masalah rumah tangga.

Mbok Juminten, seorang wanita tua dengan kacamata tebal dan aroma rempah yang menyengat, menatap Pak Kardi dengan seksama. Ia meraba-raba tulang Pak Kardi. Menekan di sana-sini, lalu mencium napasnya, seolah mencari petunjuk dari sisa makan malam.

Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang, dramatis seperti aktris sinetron. "Ini bukan rematik, Pak Kardi. Bukan asam urat. Bukan juga tulang keropos karena kurang kalsium," ucap Mbok Juminten dengan suara khusyuk. "Ini adalah kasus 'Semangat Kering Sindrom' tingkat akut!"

Kang Maman mengerutkan keningnya, jenggot kambingnya bergoyang-goyang. "Semangat Kering Sindrom? Apa itu, Mbok? Mirip penyakit kurang air putih?" tanyanya dengan nada penasaran.

"Jauh lebih parah!" sahut Mbok Juminten. "Tulang Pak Kardi ini, secara harfiah, mengering! Sumsumnya menguap! Bukan karena kekurangan vitamin D atau E. Melainkan karena ketiadaan kegembiraan, euforia, atau bahkan secuil senyuman tulus," katanya.

"Hati yang gembira adalah obat, kata pepatah. Tapi semangat yang patah, keringkan tulang! Dan Pak Kardi, semangatnya patah berulang-ulang sampai remuk jadi remah-remah!," papar Mbok Juminten dengan wajah yang serius.

Pak Kardi mendengus, mencoba menyangkal dengan sisa-sisa tulangnya yang utuh. "Omong kosong! Saya selalu realistis, Mbok. Kenapa harus gembira kalau kenyataan seringnya tidak menyenangkan?"

"Realistis itu beda dengan apatis, Pak Kardi!" tegas Mbok Juminten. "Obat Anda cuma satu: kegembiraan. Anda harus 'isi ulang' tulang Anda dengan tawa, senyum, dan perasaan senang. Bukan senyum tipis ala pemilu, tapi yang dari hati. Mulai sekarang, Anda wajib tertawa minimal sepuluh kali sehari, tersenyum pada setiap kucing lewat, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal terkecil."

Terapi Kegembiraan yang Dipaksakan

Terapi Mbok Juminten dimulai. Pak Kardi yang biasanya bangun dengan gerutuan, kini dipaksa Kang Maman untuk menyanyikan lagu riang gembira di depan cermin setiap pagi. Suaranya yang fals dan wajahnya yang dipaksa tersenyum malah membuat cerminnya retak.

Ia juga diwajibkan menonton tayangan lawak usang yang bahkan tidak lucu lagi bagi generasi 90-an. Bukannya tertawa, Pak Kardi malah seringkali terbatuk-batuk menahan kesal.

"Ini bukan kegembiraan. Ini penyiksaan!" rintih Pak Kardi suatu sore, setelah dipaksa menari poco-poco sendirian di halaman rumahnya hingga hampir terpelintir.

Mbok Juminten tak menyerah. Ia meresepkan "Ramuan Kebahagiaan Instan". Berupa jus mengkudu dicampur madu dan bubuk kayu manis, yang rasanya seperti perpaduan mimpi buruk dan obat batuk.

Baca Juga: Penantian Sebuah Gerbang yang Memiliki Pemikiran Sendiri

Katanya, ramuan itu akan merangsang kelenjar "Senangisme" di otaknya. Hasilnya? Pak Kardi bukannya senang, malah sering lari ke belakang jamban.

Setiap malam, Kang Maman akan datang dan membacakan daftar "Hal-hal Menyenangkan Hari Ini" yang harus disebutkan Pak Kardi.

"Hari ini saya berhasil tidak tersandung batu," Pak Kardi mendesis, tanpa emosi.

"Bagus! Sedikit lagi Pak Kardi, sedikit lagi!" Kang Maman menyemangati, meskipun tahu persis Pak Kardi hanya berusaha menyelesaikan "tugasnya."

Festival Kegembiraan Palsu

Kondisi Pak Kardi tidak membaik signifikan. Ia masih menyusut. Meskipun kini bisa tersenyum sedikit ketika Kang Maman terpeleset kulit pisang. Mbok Juminten akhirnya memutuskan langkah drastis: "Festival Kegembiraan Desa", sebuah acara dadakan yang dirancang khusus untuk mengisi ulang "sumsum gembira" Pak Kardi.

Festival itu adalah bencana komedi. Warga desa dipaksa berpartisipasi dalam lomba menertawakan diri sendiri, lomba menari bebas (yang lebih mirip orang kesurupan), dan pertunjukan teaterikal yang saking absurdnya, orang-orang tidak tahu harus tertawa atau menangis.

Pak Kardi, yang kini hampir setinggi lutut Kang Maman, duduk di kursi roda dan tampak semakin kecil. Tulangnya berderak setiap kali ia mencoba menggerakkan jari. Saat puncak acara, sebuah sesi "Tertawa Kolektif", Pak Kardi diangkat ke panggung.

Semua orang diinstruksikan untuk tertawa selebar-lebarnya. Tawa riuh memenuhi udara, tawa yang terdengar palsu dan dipaksakan. Pak Kardi hanya memandang mereka dengan tatapan kosong, tulang-tulangnya terasa semakin ringan, seperti akan beterbangan ditiup angin.

Tiba-tiba, dari sudut panggung, sebuah pengeras suara lawas mulai mengeluarkan suara aneh. Itu adalah radio butut milik Pak Kardi yang entah bagaimana bisa menyala sendiri, dan entah mengapa, memutar lagu dangdut koplo yang sangat jadul dan cengeng, dengan lirik tentang ditinggal pacar karena beda kasta.

Baca Juga: Mencari Asal-Usul Ketidaksempurnaan Sebutir Remahan Biskuit Waktu

Pak Kardi adalah satu-satunya orang di desa itu yang punya koleksi lagu-lagu seperti itu, yang ia dengarkan diam-diam di tengah malam. Awalnya, Pak Kardi terkejut. Lalu, sebuah kerutan muncul di wajahnya. Bukan kerutan cemberut, melainkan sesuatu yang sedikit melunak.

Alunan musik yang norak itu, lirik yang absurd, somehow menyentuh sesuatu dalam dirinya. Itu adalah 'guilty pleasure' Pak Kardi, sebuah rahasia kecil kegembiraan yang ia sembunyikan dari siapa pun.

Tulang yang Kembali Terisi

Tanpa sadar, jari-jari Pak Kardi mulai mengetuk-ngetuk sandaran kursi roda mengikuti irama. Kemudian, kepalanya sedikit bergoyang. Wajahnya, yang tadi tegang, sedikit mengendur. Bibirnya tidak tersenyum, tidak tertawa, tapi ada semacam kedamaian, sebuah kebahagiaan tersembunyi yang akhirnya muncul ke permukaan.

Itu bukan tawa riuh, melainkan senyum tipis yang tulus, senyum seorang pria yang menemukan kembali kebahagiaannya dalam irama dangdut koplo yang tidak ada orang lain pahami.

Ajaib! Warga desa melihatnya. Tubuh Pak Kardi tidak langsung membesar, tetapi derak di tulangnya perlahan mereda. Wajahnya tidak lagi sekering kerupuk gosong. Ada sedikit rona di pipinya. Tulang-tulangnya, yang tadi terasa rapuh seperti ranting kering, kini terasa lebih padat. Ia bahkan bisa menggerakkan jarinya tanpa patah.

Mbok Juminten tersenyum tipis. "Lihat? Bukan tawa yang dipaksakan, bukan joget yang dibuat-buat. Kegembiraan sejati itu kadang datang dari hal yang paling tidak terduga, Pak Kardi. Bahkan dari dangdut koplo jadul yang Anda dengarkan diam-diam."

Pak Kardi tidak menjawab. Ia hanya terus mendengarkan lagu itu, sesekali mengangguk-angguk kecil. Ia tidak berubah menjadi orang yang periang mendadak, tidak juga langsung bisa mengikuti maraton. Tapi tulang-tulangnya sudah tidak mengering lagi.

Ia belajar bahwa kegembiraan tidak harus selalu diumbar atau dipaksa. Cukup dirasakan, bahkan jika itu datang dari sebuah lagu dangdut yang hanya bisa ia nikmati sendirian, di balik pintu tertutup, dengan senyum tipis yang hanya ia sendiri yang tahu maknanya. (*)

Berita Terbaru