Surabaya memang penuh dengan sejarah. Salah satunya momen yang terjadi di Hotel Yamato. Saat ini hotel itu sudah berubah nama jadi Hotel Majapahit. Hotel itu punya sejarah panjang. Tempat itulah bukti semangat pemuda Surabaya merebut kemerdekaan Indonesia.
DI BAWAH langit cerah Surabaya, refleksi sejarah di Hotel Majapahit, Jalan Tunjungan, Surabaya, mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah. Melainkan hasil perjuangan panjang yang penuh darah dan pengorbanan.
Baca Juga: KAI Bayar Pajak Rp 32 Miliar ke Pemkot Surabaya, Wujud Komitmen BUMN
Pagi itu, Minggu 22 September 2024, matahari baru saja naik. Menembus lembut kabut di sekitar Jalan Tunjungan. Keramaian masyarakat sudah mulai tampak. Pukul 7 tepat, beberapa pengunjung mulai berdatangan.
Anak-anak hadir bersama keluarganya. Sebagian lain datang untuk berolahraga. Walau pada akhirnya, mereka juga ikut nonton teatrikal itu. Semua mata tertuju pada panggung yang berdiri kokoh di sana.
Di panggung teatrikal itu, terlihat deretan pejabat pemerintah berdiri bersebelahan dengan para veteran. Mereka adalah saksi hidup perjuangan, yang telah dianugerahi Bintang Satya Lencana Saroja dan Trikora/Dwikora.
Momen ini bukan sekadar peringatan. Tetapi penghormatan bagi mereka yang telah berkorban demi berkibarnya Sang Saka Merah Putih di tanah ini.
Suasana semakin khidmat saat Gita Bahana Suara Pelajar mulai menyanyikan lagu-lagu kebanggaan: Putih-Putih Melati dan Rek Ayo Rek. Nyanyian itu, seolah membawa pengunjung kembali ke masa lalu. Ke tahun-tahun di mana Surabaya menjadi medan perjuangan.
Teatrikal Dimulai: Dari Damai Menjadi Api Perjuangan
Ketika drama dimulai, panggung menggambarkan suasana Surabaya yang tenang dan bersahaja.
Sepeda onthel lalu lalang, gadis-gadis bercengkrama. Warga saling menyapa. Namun, kebahagiaan itu seketika terhapus ketika suara mesin motor KNIL dan teriakan tentara Belanda memecah keheningan.
Kalian belum merdeka! teriak salah satu tentara Belanda yang penuh arogansi.
Baca Juga: Kecewa Kalah, Tim Risma-Gus Hans Ungkap Berbagai Kejanggalan, Ini Temuannya...
Seolah tak peduli dengan proklamasi, bendera Belanda kembali dikibarkan, memanasnya suasana tak terhindarkan. Arek-arek Suroboyo tak tinggal diam, kebencian mereka pada penjajah mulai membuncah.
Di tengah kekacauan, Panglima Sudirman, diperankan oleh Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, tampil tegas. Ia berusaha bernegosiasi dengan Belanda, tetapi kesombongan mereka tak berujung.
Belanda bahkan menuntut penghormatan terhadap bendera mereka untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Sorakan "Merdeka!" bergema di Tunjungan. Dengan keberanian luar biasa, arek-arek Suroboyo bergerak menuju Hotel Yamato.
Mereka berhasil merobek bagian biru bendera Belanda, menyisakan Merah Putih. Saat itulah, euforia memuncak. Teriakan Merdeka! menggema, kepalan tangan terangkat ke udara, mendukung aksi heroik yang menggetarkan jiwa.
Saat bendera Merah Putih berkibar, lagu Indonesia Raya mulai terdengar. Seluruh pengunjung --dari anak-anak hingga orang tua-- berdiri menghormat, menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh kebanggaan.
Namun, momen itu berubah menjadi haru ketika Haryono, tokoh yang merobek bendera, ditembak di bahu kirinya. Penonton tersentak, terdiam sejenak dalam keheningan.
Dengan susah payah, Haryono dibantu turun oleh rekan-rekannya, namun takdir berkata lain, ia gugur. Eri Cahyadi, dalam monolognya, menyampaikan pesan yang menggema, Bendera Merah Putih Biru ini, dirobek menjadi bendera Merah Putih!
Monolog itu menggugah hati penonton. Eri Cahyadi mengajak arek-arek Suroboyo untuk selalu berani menjaga kedaulatan bangsa. Teatrikal pun ditutup dengan flashmob. Lagu-lagu nasionalis kembali dinyanyikan, dan tarian meriah mengakhiri pertunjukan.
Harapannya, semangat patriotisme yang dibangkitkan lewat teatrikal ini tak hanya berhenti di sini, tetapi terus tumbuh di hati generasi muda Indonesia, selamanya mengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari perjuangan yang tak pernah usai. (*)
Editor : Redaksi Sanubari