Sebuah Petualangan Menemukan Kaus Kaki Kanan yang Hilang

sanubari.co.id
Ilustrasi ChatGBT

Di suatu tempat yang terasa seperti sisa-sisa mimpi yang belum sepenuhnya diseduh, seorang pria tanpa ingatan mencoba menyusun kembali keberadaannya. Satu potongan kebingungan pada satu waktu, bertanya-tanya di mana ia mungkin meletakkan kaus kakinya yang lain. Mungkin seluruh rumahnya.

Kedatangan yang Tidak Diratapi

Pagi itu, jika memang bisa disebut pagi ketika langit berwarna seperti ingus. Optimisme yang sudah kedaluwarsa, Tuan Nol terbangun dari tidurnya. Bukan di ranjang empuk atau di lantai keras, tapi di atas tumpukan besar sisa-sisa permen kapas yang entah mengapa terasa getir di lidah dan sedikit berpasir di mata.

Baca juga: Mencari Asal-Usul Ketidaksempurnaan Sebutir Remahan Biskuit Waktu

Dia tidak ingat namanya. Dia tidak ingat di mana dia berada. Dia bahkan tidak yakin apakah dia seharusnya berada di sini atau di tempat lain yang mungkin lebih masuk akal: di dalam kantong kanguru yang sedang menjalani pelatihan sebagai akuntan publik.

Pertanyaan pertama yang muncul di benaknya bukanlah: "Siapa aku?" atau "Di mana duniaku?". Tidak. Itu terlalu abstrak. Pertanyaan yang benar-benar mendesak, membakar sel-sel otaknya yang belum terisi, adalah, "Di mana kaus kaki kananku?"

Dia melihat kakinya. Ada kaus kaki kiri berwarna ungu dengan motif bebek karet yang sedang bertengger di atas gunung es kecil. Kaus kaki itu terasa agak basah. Tapi yang kanan? Kosong. Hanya kaki telanjang yang terasa agak gatal.

"Ini penting," gumam Tuan Nol pada dirinya sendiri.

"Kau tidak bisa memulai pencarian identitas tanpa kaus kaki yang lengkap. Itu melanggar protokol etika pencarian universal, atau setidaknya, etika berbusana dasar."

Dia melihat sekeliling. Tumpukan permen kapas yang pahit membentang sejauh mata memandang. Diselingi oleh benda-benda aneh: sebuah jam weker yang berteriak alih-alih berdering, sebuah pot bunga yang menanam obyek-obyek non-organik seperti kunci pas dan klip kertas. Dan sebuah batu kerikil yang memancarkan cahaya biru redup sambil mendendangkan melodi yang samar-samar familiar --mungkin lagu tema dari acara memasak yang dibintangi oleh Gurita Filsuf.

Batu kerikil itu! Tuan Nol merangkak mendekat. Cahayanya membuat permen kapas di sekitarnya terlihat seperti awan badai mini yang terbuat dari gula.

"Permisi," kata Tuan Nol pada batu kerikil yang bernyanyi.

"Apakah kau kebetulan melihat kaus kaki kanan saya? Warnanya ungu, motif bebek karet di gunung es."

Batu kerikil itu berhenti bernyanyi. Cahayanya berkedip-kedip, seolah sedang memproses pertanyaan itu. Akhirnya, dengan suara yang terdengar seperti pasir diseret di atas piring porselen, ia menjawab, "Kaus kaki? Identitas? Rumah? Konsep-konsep yang menarik. Saya, secara pribadi, lebih tertarik pada sifat kuantum dari melodi yang tidak diselesaikan."

Batu kerikil itu kemudian kembali mendendangkan melodinya. Kali ini dengan sedikit variasi yang terasa seperti komentar sinis tentang kegagalan Tuan Nol dalam menemukan alas kaki lengkap.

"Oh," kata Tuan Nol, agak kecewa.

Batu kerikil yang berbicara tapi tidak berguna. Ini dia. Tanda-tanda bahwa realitas di sekitarnya tidak beroperasi di bawah hukum fisika atau kewarasan yang biasa. Dia merasa sedikit lebih baik tentang ketidakmampuannya menemukan kaus kaki mungkin kaus kaki itu juga tidak beroperasi di bawah hukum fisika yang biasa. Mungkin kaus kaki itu telah mencapai pencerahan dan memutuskan untuk bertransformasi menjadi energi murni atau, lebih mungkin, menjadi sebongkah keju tua di dimensi lain.

Lembah Rupa yang Terlupa

Tuan Nol berdiri. Kakinya yang telanjang terasa dingin di atas permen kapas yang lengket.

"Baiklah," katanya, mengusap-usap kepala yang terasa kosong.

"Pertama, kaus kaki kanan. Kedua, siapa aku? Ketiga, di mana ini, dan apakah ini 'rumah'?"

Tiga pertanyaan yang, ironisnya, terasa seperti fondasi yang sangat lemah untuk membangun keberadaan seseorang. Dia mulai berjalan, atau lebih tepatnya, menyeret kaki melewati tumpukan permen kapas yang pahit. Dia melewati pot bunga yang sedang "memanen" sebuah obeng Phillips.

"Pagi," sapa Tuan Nol pada pot bunga itu.

Pot bunga itu hanya mendesah, terdengar seperti suara tanah kering yang pecah.

"Hasil panen buruk hari ini," kata pot bunga itu dengan suara serak, akarnya sedikit menggoyangkan obeng. "Hanya obeng. Padahal saya menanam harapan akan sendok garpu krom mengkilap."

"Turut prihatin," kata Tuan Nol, melanjutkan perjalanan.

Dia memutuskan untuk mengikuti arah yang terlihat. Paling tidak seperti tumpukan permen kapas, yaitu arah yang menuju cakrawala yang berwarna seperti saus tomat yang terlalu lama dibiarkan di bawah sinar matahari.

Setelah berjalan (atau lebih tepatnya, berjuang) melewati permen kapas selama apa yang terasa seperti tiga jam atau mungkin hanya dua puluh menit (konsep waktu juga terasa agak goyah di sini), Tuan Nol tiba di pinggir "lembah".

Lembah ini tidak memiliki dasar yang terlihat, melainkan hanya hamparan kabut ungu pekat yang bergolak. Di kejauhan. Di tengah kabut, ada struktur yang terlihat seperti rumah. Tapi bukan rumah biasa. Ini adalah rumah yang terbuat dari piringan hitam tua.

Dindingnya tersusun dari piringan hitam berbagai ukuran. Atapnya dari piringan hitam yang ditata tumpang tindih seperti genteng. Jendelanya adalah lubang di piringan hitam besar. Dari rumah itu terdengar musik yang samar-samar, seperti campuran jazz avant-garde dan suara kucing yang sedang mencoba menyanyikan opera.

"Sebuah rumah," kata Tuan Nol, matanya melebar. "Mungkin itu rumahku! Mungkin aku adalah seorang kolektor piringan hitam yang sangat, sangat,sangatberdedikasi."

Dia mendekati pinggir lembah. Di sana berdiri seorang wanita tua dengan rambut yang terbuat dari benang jahit warna-warni dan mengenakan gaun yang terbuat dari peta dunia yang sudah usang. Dia sedang sibuk merajut udara kosong dengan jarum rajut raksasa yang terbuat dari tulang ikan paus.

"Pagi, Nenek Peta-Rambut-Benang," sapa Tuan Nol, mencoba bersikap sopan meskipun situasi ini semakin aneh.

Wanita tua itu mendongak. Matanya yang kecil di balik kacamata yang lensanya terbuat dari potongan botol selai menatap Tuan Nol.

"Kau mencari sesuatu, ya?" tanyanya, suaranya seperti gumaman lembut dari kompas yang kebingungan.

"Ya! Saya mencari identitas saya. Rumah saya. Juga kaus kaki kanan saya yang ungu dengan motif bebek karet," jelas Tuan Nol.

Nenek Peta-Rambut-Benang mengangguk perlahan, benang jahit di rambutnya bergemerisik. "Identitas... sebuah benang kusut yang seringkali hanya bisa dirajut ulang dengan jarum kesadaran yang tumpul. Rumah... sebuah koordinat yang berubah setiap kali kau mengedipkan mata.

Kaus kaki kanan... ah, yang itu. Mungkin dia sedang berada di pertemuan puncak rahasia semua kaus kaki tunggal di bawah naungan Konvensi Kaus Kaki Strasbourg. Mereka berdiskusi tentang persamaan hak dengan pasangan merek."

"Konvensi Kaus Kaki Strasbourg?" Tuan Nol mengedip.

"Tentu saja," kata Nenek itu, melanjutkan rajutannya. "Semua kaus kaki tunggal yang hilang berakhir di sana. Mereka membentuk sebuah parlemen bayangan, membuat undang-undang tentang gravitasi lemari pakaian dan takdir mesin cuci. Yang ungu dengan bebek karet? Dia mungkin vokal dalam isu migrasi kaus kaki dari laci ke bawah tempat tidur."

Tuan Nol merasa kepalanya berputar. Kaus kaki kanannya adalah seorang diplomat kaus kaki? Ini lebih rumit dari yang dia duga. "Jadi... rumah itu? Yang dari piringan hitam? Apakah itu rumah saya?"

Nenek Peta-Rambut-Benang tertawa pelan. Suaranya terdengar seperti gesekan kertas pasir halus. "Oh, itu. Rumah Piringan Hitam Melankolis. Banyak orang mengira itu rumah mereka. Tapi sebenarnya itu hanyalah refleksi dari koleksi musik yang paling tidak kau dengarkan. Setiap piringan hitam di sana adalah album yang kau beli karena sampulnya bagus, tapi tidak pernah benar-benar kau putar sampai selesai."

"Jadi... bukan rumah saya?"

"Bisa jadi," kata Nenek itu misterius. "Tergantung seberapa besar koleksi musik yang tidak kau dengarkan." Dia lalu merajut sesuatu yang terlihat seperti... pintu? Pintu yang terbuat dari udara ungu. "Jalan menuju sana tidak mudah. Kabut itu... itu adalah Lupa yang Beraroma Lavender. Ia membuatmu lupa alasan mengapa kau datang ke sana."

Tuan Nol menatap pintu udara itu. "Tapi... saya perlu ingat mengapa saya datang."

"Tepat sekali," kata Nenek itu. "Itulah tantangannya. Kau harus melewatinya, tapi ingat alasanmu. Mungkin catat di tanganmu? Tapi jangan gunakan tinta permanen, Lupa Beraroma Lavender bisa melarutkan kenangan yang tertulis dengan kuat."

Tuan Nol tidak punya pena atau kertas. Dia hanya punya satu kaus kaki ungu bermotif bebek karet. Ide muncul. Dia melepas kaus kaki kirinya. "Saya akan mengikat ini di pergelangan tangan saya!" katanya. "Sebagai pengingat! Kaus kaki kiri akan mengingatkan saya untuk mencari kaus kaki kanan, rumah, dan diri saya!"

"Ide bagus," kata Nenek itu. "Kaus kaki adalah pengingat yang gigih. Mereka punya semacam memori seluler yang kuat. Terutama yang sudah melewati siklus pencucian yang traumatis."

Tuan Nol mengikat kaus kaki ungu bebek karet itu di pergelangan tangan kirinya. Rasanya agak aneh dan lembap. Dia kemudian melangkah melewati pintu udara ungu ke dalam Lupa yang Beraroma Lavender.

Kabut Lavender dan Ingatan yang Fleksibel

Begitu masuk, Tuan Nol disambut oleh aroma lavender yang begitu kuat hingga terasa seperti pukulan lembut di hidung. Kabutnya memang ungu pekat. Jarak pandang sangat terbatas. Dan yang paling aneh, setiap beberapa langkah, Tuan Nol akan berhenti dan berpikir, "Apa yang sedang saya lakukan di sini? Saya seharusnya sedang menyortir koleksi perangko saya yang terdiri dari gambar sayuran berbentuk aneh." Atau, "Mengapa saya tidak sedang mengajari burung beo saya cara mengeja kata 'entropi'?"

Dia harus terus-menerus melihat kaus kaki di pergelangan tangannya. "Kaus kaki!" gumamnya. "Mencari kaus kaki kanan! Dan rumah! Dan... siapa aku?"

Setiap kali dia melihat kaus kaki itu, ingatan palsu yang tiba-tiba muncul (koleksi perangko sayuran, burung beo filsuf) akan lenyap, digantikan oleh kebingungan orisinalnya. Kaus kaki itu memang pengingat yang baik, meskipun baunya agak aneh setelah diikat di pergelangan tangan.

Saat dia melangkah, kabut itu berbisik. Bisikannya terdengar seperti daftar belanjaan yang dibacakan mundur, atau resep kue yang menggunakan bahan-bahan yang tidak ada. "....tepung kebingungan....telur ketidakpastian....satu sendok teh rasa ragu...." Bisikan itu semakin membuat kepalanya pusing.

Setelah apa yang terasa seperti berjalan selama berhari-hari (atau mungkin hanya beberapa menit, sulit dikatakan di sini), Tuan Nol mulai melihat bentuk-bentuk di kabut. Mereka adalah orang-orang. Atau setidaknya, siluet orang-orang. Mereka juga tampak kebingungan, berjalan tanpa arah, beberapa mencoba menangkap bisikan di kabut dengan jaring kupu-kupu, yang lain berbicara pada diri sendiri dalam bahasa yang terdengar seperti suara perabotan yang sedang disusun ulang.

Salah satu siluet, yang terlihat seperti seorang pria membawa tumpukan payung yang terbalik, mendekati Tuan Nol. "Permisi," kata siluet payung itu dengan suara yang agak serak. "Apakah kau tahu di mana letak Ruang Tunggu yang Tidak Ada?"

"Ruang Tunggu yang Tidak Ada?" ulang Tuan Nol.

"Ya," kata siluet itu. "Saya punya janji di sana. Saya sudah menunggu selama... entahlah. Rasanya seperti selamanya, tapi saya tidak yakin kapan 'selamanya' dimulai."

"Saya tidak tahu," kata Tuan Nol, menunjukkan kaus kakinya. "Saya sedang mencari kaus kaki kanan saya, rumah saya, dan siapa saya."

Siluet payung itu memiringkan kepalanya (atau setidaknya, tumpukan payungnya). "Kaus kaki kanan? Konsep menarik. Apakah dia punya nama belakang?"

"Entahlah!" seru Tuan Nol. "Saya bahkan tidak ingat nama belakang saya sendiri!"

"Ah, masalah klasik," kata siluet itu, menyusun ulang payungnya. "Kau tidak bisa mengetahui nama belakang kaus kaki kananmu jika kau tidak tahu nama belakangmu. Mungkin nama belakang kalian sama? Pernahkah kau mencoba memanggilnya dengan nama belakangmu?"

"Tapi... saya tidak punya nama belakang!" Tuan Nol mulai merasa frustrasi.

Baca juga: Gemuruh Kok di Antara Dua Semesta Senja

"Maka mulailah dari sana," kata siluet itu bijak. "Carilah nama belakangmu. Mungkin kaus kaki kananmu akan menjawab jika kau memanggil nama belakang yang benar."

Siluet payung itu kemudian melanjutkan perjalanannya ke dalam kabut, masih mencari Ruang Tunggu yang Tidak Ada. Tuan Nol ditinggalkan sendirian lagi, memikirkan saran aneh itu. Mencari nama belakang agar kaus kaki kanannya merespons? Ini kedengarannya sangat tidak masuk akal, bahkan untuk tempat ini. Namun, ide untuk memiliki nama belakang terasa... lumayan. Nama belakang memberimu semacam jangkar. Bahkan jika jangkar itu terbuat dari jeli.

Nama Belakang dan Sebuah Pintu yang Terbuka

Tuan Nol melanjutkan perjalanan, sesekali melirik kaus kaki di pergelangan tangannya dan menggumamkan alasannya berada di sana. Dia sekarang juga menambahkan, "Dan mungkin sebuah nama belakang?"

Akhirnya, kabut lavender mulai menipis. Tuan Nol bisa melihat Rumah Piringan Hitam Melankolis di depannya, terlihat lebih jelas sekarang, piringan hitam di dindingnya memantulkan cahaya redup dari langit saus tomat. Di depan rumah itu ada halaman yang ditumbuhi rumput yang terlihat seperti rambut gimbal dari serat optik.

Saat Tuan Nol mencapai halaman, dia melihat sebuah pintu di dinding rumah, terbuka sedikit. Dari dalam terdengar musik jazz-opera kucing yang lebih keras. Dia melangkah masuk.

Bagian dalam rumah itu... lebih aneh dari yang diperkirakan. Dinding-dindingnya memang terbuat dari piringan hitam, tapi mereka berputar perlahan, menciptakan ilusi gerakan yang membuat Tuan Nol merasa sedikit pusing. Lantainya terbuat dari tuts piano yang berbunyi setiap kali diinjak, menghasilkan akord-akord disonan yang acak. Langit-langitnya adalah layar proyeksi yang menampilkan cuplikan-cuplikan singkat dari film-film bisu tentang orang-orangan sawah yang mencoba menjadi penari balet.

Di tengah ruangan, duduk di atas tumpukan buku telepon dari kota-kota yang sudah tidak ada, ada seorang wanita muda dengan gaun yang terbuat dari tiket kereta api yang sudah tidak berlaku. Rambutnya ditata menjadi bentuk menara Eiffel mini. Dia sedang berbicara serius dengan... sebuah teko teh.

"Tidak, Earl Grey," kata wanita itu pada teko teh, suaranya terdengar seperti gemericik kartu remi dikocok. "Kau tidak bisa terus menyangkal gravitasi hanya karena kau merasa 'terangkat secara spiritual'. Itu tidak praktis."

Teko teh itu hanya menggelembungkan sedikit uap.

"Permisi," kata Tuan Nol, menginjak tuts yang berbunyi 'DOOOONG'.

Wanita itu menoleh, menara Eiffel di kepalanya bergoyang. Matanya berwarna seperti permen jeli rasa stroberi. "Oh, hai," katanya, menatap kaus kaki di pergelangan tangan Tuan Nol. "Pengingat yang bagus. Kaus kaki itu sepertinya tahu sesuatu yang tidak kau ketahui."

"Mungkin," kata Tuan Nol. "Saya sedang mencari rumah saya. Apakah ini rumah saya? Dan siapa saya?"

Wanita itu tertawa. Suaranya terdengar seperti suara seruling yang dimainkan oleh tupai. "Rumahmu? Ini Rumah Piringan Hitam Melankolis. Ini adalah tempat di mana semua piringan hitam yang tidak didengarkan berkumpul untuk curhat. Ini mungkinbagiandari dirimu, tapi bukanseluruhdirimu. Tidak ada satu tempat pun yang bisa menjadiseluruhdirimu, kau tahu? Kecuali mungkin lipatan kaus kaki yang belum dilipat."

"Lipatan kaus kaki?"

"Ya. Ada banyak hal yang bersembunyi di sana. Debu, potongan benang, kenangan samar tentang kaki yang pernah menghuninya... kompleksitas sejati." Dia menunjuk teko teh. "Earl Grey di sini mengira dia adalah rumah. Padahal dia hanyalah wadah untuk cairan panas."

Tuan Nol menatap teko teh. "Kau bukan rumah?" tanyanya.

Teko teh itu menggelembungkan uap lagi, yang berbau seperti teh hitam yang sangat kuat dan sedikit... kesepian.

"Jadi, jika ini bukan seluruh rumah saya, dan saya tidak tahu siapa saya... apa yang harus saya lakukan?" tanya Tuan Nol.

"Oh, pertanyaannya lagi," kata wanita dengan gaun tiket kereta api itu. "Kau bisa memulai dengan hal kecil. Misalnya, menemukan nama belakang. Nama belakang bisa memberimu petunjuk tentang 'siapa' dan 'dari mana'."

"Bagaimana cara menemukannya?"

"Coba lihat sekeliling. Kadang nama belakang itu tersembunyi di tempat-tempat yang tidak terduga. Di bawah sofa, di dalam tempat gula, atau mungkin di balik telinga teko teh yang sedang disorientasi spiritual."

Tuan Nol menghela napas. Oke, mencari nama belakang. Dia berlutut di lantai tuts piano, menyebabkan serangkaian suara acak. Dia melihat di bawah tumpukan buku telepon. Tidak ada. Dia melihat di dalam teko teh. Hanya teh hitam dan sedikit rasa kesepian. Dia bahkan melihat di balik telinga teko teh (yang sebenarnya tidak punya telinga, tapi dia melihat area di mana telinga seharusnya berada). Tidak ada.

Dia kemudian memperhatikan sebuah laci kecil di salah satu dinding piringan hitam yang berputar. Laci itu tidak terlihat seperti terbuat dari piringan hitam, melainkan dari... gabus botol anggur. Aneh. Tuan Nol mencoba membukanya. Terkunci.

"Laci itu," kata wanita gaun tiket. "Itu laci untuk barang-barang yang kau lupakan secara sengaja. Atau tidak sengaja, tapi yang kau biarkan terlupakan."

Tuan Nol mencoba menariknya, menggedornya. Tidak bergerak. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sesuatu. Di sudut ruangan, di antara tumpukan piringan hitam jazz-opera kucing, ada sebuah... sendok garpu krom mengkilap.

Sendok garpu krom mengkilap! Tuan Nol ingat pot bunga di luar berharap memanen benda itu. Dia mengambil sendok garpu itu. Sendok garpu itu terasa berat dan kokoh. Untuk alasan yang tidak bisa dia jelaskan, dia merasa bahwa sendok garpu ini penting. Ini adalah... ini adalah... benda yang muncul di awal perjalanan, sesuatu yang sepertinya tidak penting, tetapi kini entah bagaimana berada di sini. Absurditas tingkat tinggi.

Tuan Nol memegang sendok garpu itu. Dia menatap laci gabus botol anggur yang terkunci. Lalu dia menatap sendok garpu itu lagi. Mungkinkah...?

Dia memasukkan ujung sendok garpu ke celah laci yang terkunci. Tidak ada mekanisme penguncian yang terlihat, tetapi ujung sendok garpu itu... pas dengan sempurna. Dia sedikit mendorong.Klik.Laci itu terbuka.

Di dalam laci gabus botol anggur itu, tergeletak di atas lapisan tipis debu melankolis, ada sebuah kartu nama. Tuan Nol mengambilnya. Di kartu itu tertulis:

Baca juga: Rumah yang Mengingat Lebih dari Pemiliknya

Tn. Nol (Nama Belakang Masih Dicari)Pencari Profesional (Saat Ini Mencari Diri Sendiri)Alamat: Di Mana Saja yang Tidak Terlalu Lengket

Di bagian bawah kartu itu, ada catatan kecil yang ditulis tangan dengan tinta yang agak pudar:Petunjuk: Coba cari kaus kaki kananmu di bawah tumpukan keraguan diri di lorong belakang.

"Wow," kata Tuan Nol. "Aku... aku setidaknya punya kartu nama. Dan sebuah petunjuk! Aku Tn. Nol, dengan nama belakang yang masih dicari. Setidaknya itu lebih spesifik daripada sebelumnya."

Wanita gaun tiket tersenyum. "Kau melihat? Langkah kecil. Sekarang kau punya kartu nama. Ia mungkin tidak memberitahumu 'siapa' kau, tapi setidaknya ia memberitahumu apa yang sedang kau lakukan."

Teko teh menggelembungkan uap lagi.

"Lorong belakang," gumam Tuan Nol. Dia melihat sekeliling Rumah Piringan Hitam Melankolis. Di belakang tumpukan buku telepon dan teko teh, ada lorong sempit yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari film bisu orang-orangan sawah balet di langit-langit.

"Terima kasih," kata Tuan Nol pada wanita gaun tiket dan teko teh. Dia menyimpan kartu namanya di saku celananya (yang entah bagaimana muncul, meskipun dia tidak ingat mengenakan celana sebelumnya), memegang sendok garpu krom mengkilap (entah mengapa terasa penting untuk membawanya), dan berjalan menuju lorong belakang.

Lorong Belakang dan Kebenaran yang Membingungkan

Lorong belakang terasa seperti terbuat dari kertas yang sudah kusut. Setiap langkah menghasilkan suara gemerisik. Cahaya redup dari film bisu menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding kertas. Dan udaranya... berbau seperti keraguan diri. Aroma samar-samar kekhawatiran yang tidak jelas, rasa takut yang tidak spesifik, dan sedikit sentuhan "apakah saya meninggalkan kompor menyala?"

Di sepanjang lorong, ada tumpukan-tumpukan besar barang. Tumpukan buku yang tidak pernah dibaca, tumpukan rencana yang tidak pernah diwujudkan, tumpukan percakapan yang seharusnya dilakukan tapi tidak pernah terjadi. Dan ya, di sudut terjauh lorong, ada tumpukan besar kaus kaki. Kaus kaki dari segala warna dan motif. Kaus kaki bergaris, kaus kaki polkadot, kaus kaki dengan gambar kura-kura memakai topi, kaus kaki dengan gambar menara Eiffel mini (yang membuat Tuan Nol sedikit terkesiap). Dan di tengah tumpukan itu...

Ada kaus kaki ungu. Dengan motif bebek karet. Kaus kaki kanan.

Tuan Nol berlari, menyingkirkan kaus kaki lain, dan meraih kaus kaki kanannya. Rasanya... pas di tangannya. Persis seperti yang seharusnya. "Kau!" serunya. "Kau di sini! Di bawah tumpukan keraguan diri!"

Dia dengan cepat memasangnya di kaki kanannya. Sekarang dia lengkap. Kaus kaki kiri di pergelangan tangan sebagai pengingat (dan jimat), kaus kaki kanan di kaki. Keseimbangan telah tercapai.

Saat kedua kaus kaki itu berada di Tuan Nol lagi, sesuatu terjadi. Tidak dramatis, hanya... sebuah kesadaran. Semacam kilasan informasi.

"Siapa aku?" Pertanyaan itu muncul lagi. Dan jawabannya datang, bukan dalam bentuk nama atau profesi, tetapi dalam bentuk... perasaan. Sebuah perasaan bahwa dia adalah orang yang selalu mencari. Mencari makna di tempat yang tidak bermakna, mencari keteraturan dalam kekacauan, mencari kaus kaki yang hilang di tumpukan keraguan diri. Dia adalah pencari. Itu identitasnya. Pencari. Tn. Nol, Pencari.

"Di mana rumahku?" Pertanyaan berikutnya. Dan jawabannya juga datang, bukan dalam bentuk alamat fisik, tetapi dalam bentuk... realisasi. Rumahnya bukanlah Rumah Piringan Hitam Melankolis. Rumahnya bukanlah tumpukan permen kapas. Rumahnya... adalah di mana pun pertanyaan itu ada. Di mana pun ada sesuatu untuk dicari. Rumahnya adalah proses pencarian itu sendiri. Mungkin rumahnya adalah ruang kosong yang ditinggalkan oleh kaus kaki yang hilang.

Dia memegang sendok garpu krom mengkilap itu. Mengapa ini penting? Dia melihatnya. Lalu dia melihat laci gabus botol anggur yang terbuka. Sendok garpu itu membuka laci berisi kartu nama dan petunjuk. Sendok garpu yangtidakdipanen oleh pot bunga di awal. Sendok garpu itu... adalah sebuah kemungkinan yang tidak terwujud di satu tempat, tetapi menjadi kunci di tempat lain. Itu adalah simbol dari potensi yang belum ditemukan, atau mungkin hanya sebuah alat yang sangat spesifik untuk membuka laci gabus botol anggur. Di dunia ini, keduanya bisa jadi sama saja.

Tuan Nol (Pencari) berdiri di lorong belakang Rumah Piringan Hitam Melankolis, lengkap dengan kedua kaus kakinya, sendok garpu krom mengkilap di tangan, dan sebuah kartu nama di saku. Dia tahu siapa dia: seorang Pencari. Dia tahu di mana rumahnya: di mana pun ada sesuatu untuk dicari.

Dia melihat tumpukan kaus kaki yang tersisa di lorong itu. Begitu banyak kaus kaki tunggal, menunggu untuk ditemukan. Mungkin ini tempat di mana dia akan mulai 'mencari' selanjutnya? Mencari pasangan kaus kaki ini? Mencari cerita mereka?

Dia tersenyum. Senyum seorang pria yang baru saja menemukan identitasnya sebagai seorang Pencari, dan rumahnya sebagai lokasi pencarian yang tidak terbatas. Dia masih Tn. Nol dengan nama belakang yang masih dicari, tapi itu detail kecil. Dia punya kedua kaus kakinya.

Dia melangkah keluar dari lorong belakang, kembali ke ruangan utama Rumah Piringan Hitam Melankolis. Wanita gaun tiket kereta api masih berbicara dengan teko teh. Tuts piano berbunyi ketika dia menginjaknya. Film bisu tentang orang-orangan sawah balet masih diputar.

"Nah," kata Tuan Nol (Pencari). "Saya menemukan kaus kaki kanan saya."

Wanita gaun tiket menoleh. "Ah! Dan...?"

"Dan saya tahu siapa saya. Saya seorang Pencari. Dan rumah saya... adalah di mana pun ada sesuatu untuk dicari."

"Bagus sekali!" seru wanita itu, menara Eiffel di kepalanya bergetar gembira. "Jadi, apa yang akan kau cari selanjutnya?"

Tuan Nol (Pencari) melihat sekeliling ruangan. Dia melihat tumpukan buku telepon dari kota-kota yang sudah tidak ada. Dia melihat teko teh yang sedang berjuang dengan gravitasi. Dia melihat piringan hitam yang belum pernah didengarkan.

"Saya pikir," kata Tn. Nol (Pencari), memegang sendok garpu krom mengkilap. "Saya akan mencari tahu apakah teko teh ini benar-benar bisa melayang jika motivasinya cukup kuat. Atau mungkin mencari nama belakang untuk kaus kaki kiri saya."

Teko teh menggelembungkan uap lagi, kali ini baunya seperti harapan yang sangat rapuh.

Tn. Nol (Pencari) melangkah maju, siap untuk pencarian berikutnya, sepenuhnya menerima bahwa identitasnya adalah ketidakpastian yang aktif, dan rumahnya adalah tempat apa pun yang menawarkan pertanyaan yang cukup absurd untuk dijelajahi. Dan ya, dia masih memegang sendok garpu itu. Siapa tahu kapan dia akan membutuhkan alat yang sangat spesifik untuk membuka laci metaforis berikutnya.

Editor : Redaksi Sanubari

Serba Serbi
Berita Populer
Berita Terbaru