Perjuangan seorang perempuan yang mengenalkan pendidikan

Cahaya dari Pondok Kecil

sanubari.co.id
Ilustrasi seorang perempuan yang mengajar anak-anak

Pondok itu nyaris hancur, karena hujan semalam. Seperti ada dendam yang mengurung terlalu lama yang menyelinap masuk menggetarkan seluruh permukaanya dan menghancurkannya. Burung-burung biasanya bertengger, perlahan meninggalkan pondok itu. Tidak ada lagi harapan yang dapat mengokohkannya.

----

Baca juga: Awan yang Mengambang Terlalu Nyaman di Atas Kota

Matahari baru saja memunculkan wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul 06.00. Hari ini adalah hari pertama di bulan pertama di tahun yang baru. Asap tipis mengepul dari pucuk ceret tua yang berada di atas tungku. Tak jauh dari sana, Ima duduk termenung di tepi tikar. 

Sesekali dia memandang buku miliknya yang ditumpuk sembarangan tak jauh dari keberadaanya. Pikirannya campur aduk. Ima masih kepikiran kondisi gubuk yang berada di bawah kaki gunung. Tepatnya sekitar satu kilometer dari lokasi rumahnya sekarang. Kondisi gubuk itu sangat memprihatinkan.

“Pondok itu pasti sulit diselamatkan,” gumam Ima dalam hatinya. Lokasinya berada di dataran rendah. Air sudah mengepung bangunan yang berukuran hanya 2x3 meter itu. Tinggi air itu sudah sepinggang orang dewasa. Entah kapan surutnya. 

“Jika banjir disebabkan oleh lokasi yang tidak strategis, bagaimana dengan rumah warga di sekitarnya? Harusnya ikut tergenang air juga, kan?,” gerutu Ima.

Suara pria yang melintas di samping rumahnya, menyadarkan Ima dari lamunannya.

“Tadi malam hujan deras mo. Barangkali nanti iko (kamu) kesusahan di jalan. saya ada sepatu bot di belakang rumah. Bawa mo sebagai cadangan,” kata Ambo, pengurus masjid yang tinggal di samping rumahnya.

Ima yang kini berada di ambang pintu mengangguk, sembari menakar jarak dan waktu yang akan ditempuhnya menuju pasar. Setengah jam dengan berjalan kaki. Tidak terlalu lama. Tanpa pikir panjang, dia mengambil keputusan Ambo. Setelahnya Ima mulai memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

“Aku harap buku-buku ini tidak lagi kembali ke rumah,” ucap Ima bersemangat.

Benar apa yang dibilang Ambo tadi, jalan yang hanya setapak ini becek, terlampau jelek. Ima melangkah pelan.

Kakinya terasa sulit digerakkan, karena tanah basah menempel di sepatunya bak parasit. Pasar mungkin menjadi tujuan Ima berikutnya, di mana ia menaruh harapan besar untuk buku-bukunya.

Matahari menelan kabut terakhir pagi ini. Ima menyelusup ke keramaian pasar. Begitu ia duduk di barisan kanan, sembari menata buku-bukunya, seorang pedagang ikan mendekat. 

“Aih, nak. Sudah saya bilang no, orang-orang sini tidak akan suka dengan buku. Mereka lebih percaya petuah para tetua,” kata pedagang itu dengan tatapan sinis ke Ima. 

Ima membalas tatapan itu dengan senyuman. “Iya Bu, tidak apa-apa. Lagi pula, saya datang kesini untuk menyelesaikan kewajiban saya,” jawab Ima dengan nada yang halus.

Pedagang tadi hanya mengangguk pelan. Tetapi ekspresi wajahnya tidak bisa bohong. Dahinya mengerut.

“Setidaknya saat berjualan kita tahu tempat mo. Kalau bukan soal pasar, mana ada yang mau datang, pi,” tambahnya.

“Tapi saya tidak sedang berdagang, bu,” kata Ima.

“Lalu? Untuk apa buku-buku itu mo?” timpal pedagang.

Belum sempat Ima membalas, perhatiannya teralihkan oleh panggilan yang berasal dari baris kiri pasar. Dua anak laki-laki dengan kaki penuh lumpur berlari seraya membawa karung berisi jagung dan kakao.

Kira-kira semua barang itu beratnya tidak lebih dari mereka. Wajah kusam. Tangan kering. Nafas tersengal-sengal. Mereka lari ke Ima.

“Kamu punya teman baru ya?” tanya Ima. 

Salah satu anak itu mengangguk. Ia langsung mengeluarkan jagung-jagung kecil yang belum terkupas.

“Ita mau menukar buku dengan sekarung jagung?!” pedagang ikan itu bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, membuat pedagang di sebelahnya geleng-geleng kepala.

“Tidak, bu!!!” 

“Terus? Kenapa mi mereka bawa kesini? Seharusnya taruh saja di ladang na.”

Ima tidak menjawab pertanyaan si pedagang. Dia beralih pandang, melihat dua anak di hadapannya yang tersenyum lebar. 

“Baik, anak-anak. Sekarang, kita mulai belajar menghitung ya.”

***

Aula masjid lagi ramai. Orang-orang lagi menunggu waktu magrib. Beberapa dari mereka ada yang duduk melingkar. Terlihat dari jauh ada Ambo yang duduk dalam lingkaran itu.

Ambo ternyata mengumpulkan mereka untuk membahas hal genting. Ima pun menjadi bagian dari lingkaran itu.

“Sepinggang?! Bukannya pondok na itu sama mi kuatnya seperti rumah kita?,” tanya salah satu warga, membuka percakapan.

“Iya, pak, itu benar. Masalahnya, letak pondok tempat mereka belajar berada di dataran rendah. Tidak ada saluran untuk membuang airnya. Alhasil, rawan terkena banjir dan membuat kayunya mudah rapuh.”

Ima menghela nafas. Dia frustasi. Kenyataan pahit yang Ima terima hari ini adalah: sebagian warga rupanya tidak tahu di mana letak pondok itu sendiri. Termasuk fungsinya untuk apa. 

“Bagaimana, Pak? Bu? Apakah ada solusi yang bisa diberikan. Karena mau bagaimanapun, ini berkaitan dengan masa depan anak-anak desa,” lanjut Ima.

Aula itu lengang. Semua berpikir keras. 

“Begini saja, Bu Ima. Biar tidak repot mi, baiknya Ibu bicara langsung ke kepala desa,” kata salah seorang warga. 

“Benar. Bukan kami tidak ingin bantu. Tapi, akan mi lebih cepat jika langsung ke yang bersangkutan. Kami to cuma nelayan saja. Tidak pernah bersekolah. Jadi tidak ada hubungan na dengan pondok itu,” tambah yang lain.

Ima terkejut. Jawaban warga sungguh di luar dugaannya.

“Bagaimana mi, nak? Tidak apa-apa na?” Ambo yang duduk di sebelah Ima bertanya.

“Saya tidak apa-apa, Pak. Saya hanya khawatir dengan nasib anak-anak kedepannya,” tegas Ima.

“Nasib apa yang iko maksud? Bukan mo selama ini mereka banyak membantu?” sela warga, mulai tidak nyaman.

“Bukan begitu, Pak. Maksud saya mereka punya masa depan yang cerah. Tetapi, kalau fasilitas sekolah saja tidak memadai, yang ada mereka akan tertinggal jauh. Termakan oleh perkembangan zaman,” ucap Ima mencoba meyakinkan warga.

Warga bersitatap, pembicaraan menjadi semakin rumit.

Baca juga: Misteri Metropolis Mikrofon Mati

“Nak Ima, kami sudah lama mo tinggal di desa. Asalkan tidak melanggar adat saja na, kami cukup hidup apa adanya.”

“Ya saya hanya mau membawa kemajuan untuk desa ini,” kata Ima lagi.

“Kemajuan seperti apa na? Seperti kotamu? Jangan mi begini nak. Walaupun di sini jalannya berlubang, tidak ada listrik dan internet. Setidaknya semua to bahagia. Karena laut tenang dan panen bagus,” timpal salah satu warga.

“Tapi kalau anak-anak belajar, mereka bisa memperbaiki itu kelak,” ucap Ima dengan nada halus.

“Tidak! Kami punya adat yang harus dijaga mo. Kalau semua pi pergi untuk menempuh pendidikan, siapa yang akan melanjutkan desa?!” tegas seorang pria berbadan tegap dengan suara tinggi.

“Tapi bagaimana jika mereka ingin lebih dari itu?” tanya Ima yang berusaha tidak termakan emosi warga.

“Tetap tidak bisa! Jangan mi dipaksa. Mereka belum punya gigi yang kuat untuk iko suapi dengan mimpi besarmu itu,” ucap pria tadi dengan nada yang mengintimidasi Ima.

“Tapi ini bukan paksaan, Pak. Ini keharusan!”

“Sudah!!” Teriak Ambo menengahi perdebatan. 

Ambo tahu betul watak warga desa. Keras kepala dan sulit dibilangin. Mau Ima menjelaskan hingga mulutnya berbusa sekali pun, tetap akan begitu-begitu saja. 

Sebelum rapat ditutup, Ambo melayangkan kesempatan pada Ima untuk berbicara. Lantas wanita itu berpikir cepat apapun resikonya. Tetapi, menyerah bukan cara untuk menyelesaikan masalah. Meskipun harus menghadapi seluruh penduduk desa.

“Pak… Bu…, beri saya waktu untuk mencari jalan keluar. Jika sampai musim panen padi tiba, genangan air di pondok belum juga surut, maka saya akan berhenti mengajar di desa ini,”

Warga desa sepakat. Rapat diakhiri dengan penuh kebimbangan.

Di perjalanan pulang, Ima ditemani seekor burung yang terluka. Ima yakin sekali burung itu yang biasa ikut menemaninya di pondok. Sayap kanannya patah.

Kondisi itu yang membuatnya tertinggal dari kawanannya. Hal ini tanpa sadar menarik sesuatu yang tidak seharusnya keluar, Ima menangis. 

Ia teringat wajah gembira anak-anak yang senantiasa menunggunya. Jika satu sayap yang patah membuat kita sulit untuk terbang, bagaimana dengan mimpi-mimpi anak desa?

***

Malam sebelum hari panen tiba, warga resah dan mulai mempertanyakan: akankah Ima sungguh-sungguh meninggalkan desa atau tidak? Maka dari itu, Ambo mengadakan rapat kedua.

“Ambo, bagaimana mo dengan janji ni Bu Ima?” tanya warga.

Ambo yang mengetahui Ima tidak ada di rumahnya, menyarankan untuk warga menemuinya besok pagi saja. Tapi tak satupun dari mereka mau mendengarkan.

“Pasti dia pi ajar anak ta,” kata pedagang ikan yang duduk di pinggir aula, membuat warga serentak menoleh padanya. 

“Malam-malam begini pi ajar anak-anak ta?! Ambo! Tidak pantas dia buat begitu. Itu sudah keluar dari adat ta,” ucap salah seorang warga.

Baca juga: Senandung Sumsum dan Sumpah Serapah

“Betul, biasa ku lihat dia di pasar. Dia ajari anak-anak berhitung pake jagung dan kakao. Nda tau mo jagung itu kembali atau ikut pindah ke kota,” tambah yang lain.

“Bagaimana mi Ambo?”

Ambo menghela nafas. Mau tidak mau ia harus buat kesepakatan.

“Ya sudah mi, kita cari mo sekarang,” ajak Ambo.

Keputusan Ambo diakhiri dengan obor yang menyala terang. Tanda mereka siap menyusuri jalan yang penuh kegelapan. 

Jalan yang becek tidak memutus tekad mereka untuk mencari keberadaan Ima. Semenjak pondok dikatakan tidak layak pakai, Ima diketahui diam-diam mendatangi satu-persatu rumah warga untuk bertemu dengan mereka.

Lalu mengajaknya bermain hingga larut malam. Setiap kali warga desa mengusirnya, Ima akan kembali lagi di malam berikutnya. 

Hingga tibalah saat di mana Ima tengah menceritakan sejarah bangsa bersama empat sampai lima anak di pelosok. Ima menggunakan metode teater bayangan. Mengandalkan cahaya obor dan tangan sebagai objek berbicara. 

Kegiatan itu seketika terhenti. Telinganya mendengung, seperti ada yang sedang meneriaki-nya. Pandangannya tiba-tiba mengarah ke jalan setapak yang menanjak. Ima menyipitkan matanya. Puluhan orang membawa obor datang mendekati Ima.

”Siapa mereka?” tanya salah satu anak. 

Ima kembali menyipitkan matanya. Dia berusaha melihat dengan jelas, siapa saja yang membawa obor tersebut. Ima tertegun, sementara anak-anak bersembunyi di belakangnya. 

“Tenang, mereka semua orang tua kalian,” kata ima sebelum akhirnya warga menemukannya.

“Bu Ima! Sudah mo. Berhenti membodohi anak-anak to!” kata salah satu warga yang membawa obor.

“Benar, guru macam apa itu, ajar anak-anak to sampai malam? Ini ilmu sesat pe!” timpal warga yang lain.

“Guru yang suap mo bukan lagi guru. Itu perusak!” kata warga lainnya lagi.

Ambo yang memimpin jalan sekali lagi menengahi perdebatan. Ia yakin wanita itu telah menyiapkan hati yang kuat untuk menghadapi warga.

“Nak Ima, besok mo hari panen to. Genangan air di pondok ni sudah surut kah?” tanya Ambo hati-hati.

Ima terdiam sambil menggenggam kuat tangan anak-anak desa yang ketakutan. Saat ingin menjawab, suaranya tertahan oleh sosok yang muncul dari balik punggung warga. Dia adalah kepala desa. 

“Sudah mo. Pondok itu sudah lama membaik. Di saat kalian sibuk menimbun keegoisan to, mereka pe di sana menggali saluran. Menggali mimpi yang sebenarnya kita to harus dukung. Harus percaya. Sudah mo, padamkan saja obor mu itu. Biarkan mereka mo yang meneranginya sekarang,” ucap kepala desa mencoba mencairkan suasana.

Warga yang mendengar kalimat itu serentak mematikan obornya. Seperti telah di sihir oleh Pak kepala desa. Ima tersenyum lega. Dia berhasil melewati ini semua. Gubuk itupun digunakan Ima untuk membangun mimpi anak-anak desa di sana.

Kini, tidak ada lagi dendam yang mengurung. Burung-burung pun bebas mengepakkan sayapnya. Terbang tinggi. Bertengger di mana saja.

Penulis: Natasya Elsa Kirana, XII Perawat 1, Jurusan Asisten Keperawatan, SMK Putra Bangsa Bontang.

Editor : Redaksi Sanubari

Serba Serbi
Berita Populer
Berita Terbaru