Batik OST di Indonesia Selama Satu Abad

Batik Oey Soe Tjoen Lambang Kekayaan di Masanya

Reporter : Robby
Kwee Nattie, istri Oey Soe Tjoen, pemilik batik OST saat mewarnai kain batik buatannya. (Foto: oeysoetjoen.com, situs resmi Rumah Batik OST)

JAKARTA, sanubari.co.id - Seni batik sudah berkembang di Indonesia sejak zaman kerajaan Majapahit. Sekitar abad ke-13 hingga 15. Awalnya, batik hanya digunakan di kalangan istana dan bangsawan. Hal itu menjadi simbol status mereka.

Seiring waktu, seni batik menyebar ke masyarakat umum. Bahkan menjadi bagian integral dari budaya Indonesia. Pengerjaan yang penuh dedikasi dan balutan sejarah yang panjang menjadikan batik ini lebih dari sekedar kain. Tetapi sebuah mahakarya seni.

Baca juga: Hetifah Dorong Wajib Belajar 13 Tahun untuk Perkuat SDM di Kaltim

Salah satu pelaku pengrajin batik adalah Rumah Batik Oey Soe Tjoen. Usianya sudah memasuki satu abad. Hingga saat ini masih aktif membuat batik berkualitas tinggi. Hanya saja, saat ini tidak banyak orang yang pernah mengetahui merk matik Oey Soe Tjoen.

Bahkan hanya sedikit orang yang bisa memiliki batik merk ini. Sebab, proses pembuatan yang terbilang rumit, detail dan memakan waktu bertahun-tahun. Warisan mutu itu yang hingga saat ini tidak pernah berubah dari setiap generasi pembuat batik Oey Soe Tjoen.

“Dimulai dari dari kakek dan nenek saya yang membuat. Mereka berasal dari keluarga pembatik,” kata Widianti Widjaja, generasi ketiga pengelola rumah Batik Oey Soe Tjoen dalam jumpa pers 100 Tahun Batik Oey Soe Tjoen di bilangan Cilandak, Rabu 16 Juli 2025. 

“Setelah menikah, mereka diperbolehkan mencantumkan nama pada kain yang dibuat. Tetapi saat itu yang diperbolehkan hanya nama laki-laki. Meskipun yang mengerjakan nenek. Nama yang dicantumkan kemudian adalah kepala keluarga, yaitu Oey Soe Tjoen,” tambahnya.

Batik Oey Soe Tjoen (OST) dikenal sebagai salah satu batik tulis tertua di Indonesia. Berdiri sejak 1925 di Kedungwuni, Pekalongan, oleh Oey Soe Tjoen dan istrinya Kwee Tjoen Giok Nio (Kwee Nettie). 

Sejak mula pernikahan mereka, pasangan Oey Soe Tjien dan Kwee Nettie sepakat meninggalkan usaha batik cap keluarga masing-masing. Mereka berkonsentrasi pada pembuatan batik tulis murni halus. 

Peralihan orientasi bisnis itu karena pengusaha batik halus murni di Pekalongan masih sedikit. Karena proses pembuatan yang rumit dan lama. Awalnya, corak batik OST terinspirasi oleh corak Buketan dengan bunga khas Belanda, seperti tulip dan mawar. 

Oey Soe Tjoen kemudian membuat pakem batik tulis halus di atas kain mori dengan kedalaman detail, pewarnaan, dan motif percampuran kebudayaan peranakan Tionghoa, Jawa, Arab, dan Belanda. 

Keputusan Oey Soe Tjoen terbukti tepat. Batik OST ternyata begitu diminati masyarakat saat itu, khususnya kalangan elite. Batik OST awalnya sekadar pakaian. Kini telah bergeser menjadi benda bernilai tinggi penanda status sosial. Bahkan dijadikan sebagai mas kawin bagi sebagian keluarga Tionghoa pada masa sebelum pendudukan Jepang.

“Waktu itu batik OST dianggap sebagai batik yang high class. Sehingga bagi yang mempunyai batik OST dianggap kelasnya di atas rata-rata,” terang Widianti. 

Ia menceritakan, dalam pernikahan keluarga peranakan Tionghoa, untuk menunjukkan bahwa seorang pria memiliki ekonomi yang mapan, orang itu harus membelikan batik OST kepada pihak perempuan.

“Semakin banyak batik OST di tempat perempuan, berarti secara tidak langsung menjadi pengakuan bagi pengantin pria berasal dari keluarga cukup mapan,” ungkapnya.

Baca juga: Khofifah-Emil Resmi Dilantik Presiden, Siap Sinergikan Nawa Bhakti Satya dengan Asta Cita

Dia menceritakan, pembuatan batik OST seluruhnya dikerjakan dengan tangan (handmade). Untuk menghasilkan komposisi warna dan gradasi, sistem pewarnaannya menggunakan teknik celup dan dikerjakan secara bolak-balik. 

Baik isen-isen maupun temboknya juga dikerjakan bolak-balik. Sehingga membuatnya proses produksinya jadi lebih lama. Untuk setiap helai kain Batik OST, rata-rata dihasilkan melalui proses pengerjaan selama tiga tahun.

“Untuk satu batik, teorinya kita membutuhkan waktu tiga tahun. Tapi, faktanya bisa lebih. Kalau musim kemarau kita bisa kerjakan. Tapi kalau musim hujan, kita lebih pasif. Karena tidak bisa mewarnai. Untuk pewarnaan kita butuh matahari. Jadi, kalau musim hujan kita agak mengurangi pewarnaan,” jelas Widianti.

Menurut sejarawan Peter Carey, Batik OST termasuk batik pesisir yang banyak mendapat pengaruh dari luar. Hal ini tidak lepas dari lokasi Pekalongan yang terletak di pesisir utara Jawa yang merupakan pusat perdagangan di masa lalu. 

Oleh karena itu, Batik OST mampu menceritakan sejarah budaya peranakan Tionghoa. Serta pantai utara Jawa yang berkembang pesat sebagai tempat pertemuan bagi para pelancong, pedagang, dan pemuka agama. 

Meski mendapat pengaruh akulturasi budaya, Carey menyebut, Batik OST sangat mementingkan keaslian dalam proses pembuatannya. Pada era generasi pertama, Oey Tjoe Soen pernah ditawarkan untuk menggunakan kain sutra, namun ditolak.

“Ini seperti batik pesisir. Ada banyak pengaruh dari luar. Tapi mereka membuat tafsiran dalam mengembangkan batik yang sangat khas. Jauh melampaui atau jauh berbeda. Ini bukan tiruan tapi sebuah kreatifitas,” terangnya. 

“Jadi ini adalah salah satu bench mark, panutan yang punya standar yang tinggi sekali,” beber penulis buku batik pesisir Fabric of Enchantment: Batik from the North Coast of Java tersebut.

Sepeninggal Oey Tjoe Soen, Batik OST dilanjutkan oleh anaknya, Oey Kam Long (Muljadi Widjaja) pada 1976. Di tangan Muljadi dan istrinya, Lie Tjien Nio (Istijanti Setiono), Batik OST terus berkembang. 

Meski zaman bergerak maju, desain batik klasik karya Oey Soe Tjoen dan Kwee Nettie tetap dipertahankan. Pasangan Muljadi dan Istijanti membuat berbagai batik tulis halus dengan ragam hias Buketan, Urang Ayu, Merak Ati dan Cuwiri. 

Pelaksanaan proses produksi dan pengawasan mutu dilakukan oleh Istijanti sedangkan Muljadi berperan dalam pemasaran produk. Pada generasi inilah Batik OST lebih dikenal di luar negeri.

Pada 2002, Rumah Batik Oey Soe Tjoen diwariskan kepada Oey Kiem Lian (Widianti Widjaja), putri dari Muljadi Widjaja. Bersama suaminya, Oey Ien King (Setyo Purwanto), Widianti meneruskan usaha Batik OST di rumah yang sama saat Rumah Batik Oey Soe Tjoen berdiri pertama kali di Kedungwuni, Pekalongan. 

Hingga kini, Batik OST telah beranjak 100 tahun. Masih eksis. Termasuk sebagai batik legendaris di kalangan pecinta batik di Nusantara.

Secara berkelakar, Damiana Widowati, ketua pameran dan perwakilan Sahabat Oey Soe Tjoen, mengumpamakan bahwa yang sanggup memiliki Batik OST bukan hanya mereka yang punya uang, tapi harus panjang sabar. Karena pembuatannya yang lama. “Ini adalah perjalanan jiwa dari tiga generasi,” tegas Damiana. (*)

Editor : Redaksi Sanubari

Serba Serbi
Berita Populer
Berita Terbaru