SURABAYA, sanubari.co.id - Sepuluh tahun lalu HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy tertawa saat seorang rekannya di Vietnam menawarkan berbisnis beras. Ia sudah bosan dengan segala sesuatu yang berbau padi ataupun beras.
“Saya ini orang dusun. Rumah saya dikelilingi sawah milik eyang saya. Jenuh saya dengan segala hal yang baubau sawah,” ujarnya, kala itu, sambil tersenyum lepas, lewat rilis yang diterima sanubari.co.id, Jumat 1 Agustus 2025.
Baca Juga: Bukan Soal Pasar, Ini Soal Struktur: Kritik Tajam Gus Lilur atas Harga Beras
Namun waktu berjalan. Seperti banyak kisah yang tak terduga, kehidupan membawanya kembali ke jejak lamanya. Tapi dengan sudut pandang dan misi yang jauh lebih besar. Kini, satu dekade kemudian, Gus Lilur kembali menginjakkan kaki di Vietnam.
Bukan sebagai tamu biasa, melainkan sebagai pelaku bisnis. Di tengah kesibukan mengurus perizinan budidaya lobster, tawaran berbisnis beras kembali datang. Kali ini dari rekan-rekan konglomerat sektor pertanian dan pertambangan Vietnam. “Lingkungan usaha yang tidak bisa saya tolak,” tegas pria yang akrab disapa Gus Lilur itu.
Tawaran itu datang dari kalangan elite bisnis yang juga menjalankan perdagangan batubara dan benih lobster. Tiga komoditas utama yang menjadi poros hubungan dagang Indonesia–Vietnam: pertanian (beras), pertambangan (batubara), dan perikanan (lobster).
“Saya ini petani. Anak petani. Cucu petani. Eyang saya adalah pemilik sawah terbanyak di desa. Saat panen tiba dan harga gabah jatuh, kami, keluarga petani, merasa benar-benar marah!,” kata founder Bapantara Group itu yang menaungi 18 anak perusahaan itu.
Pernyataan tegas itu menjelaskan sikap vokalnya terhadap kebijakan impor beras, khususnya jenis CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yang ia nilai merusak harga gabah dan menyengsarakan petani lokal.
“Saya anti impor beras CBP! Tapi saya tidak menolak beras khusus, karena tidak mengganggu pasar dalam negeri dan bahkan bisa mendorong peningkatan kualitas produksi,” ujarnya.
Baca Juga: Membangun Nilai, Menaklukkan Dunia: Visi Besar Gus Lilur untuk BALAD Grup
Beras khusus, menurutnya, berada di kelas premium dengan harga yang jauh di atas rata-rata Rp 25 ribu hingga Rp 65 ribu per kilogram. Jumlah petani yang menanam varietas ini pun masih sangat terbatas di Indonesia.
Adapun pada 2025, pemerintah telah membuka kuota impor beras khusus sebanyak 420 ribu ton. Angka yang besar namun tetap bisa dikelola tanpa mengorbankan petani lokal. Kunjungan terbaru ke Vietnam menjadi momen kontemplatif bagi Gus Lilur.
Di tiga provinsi lumbung padi utama Vietnam yaitu Dong Thap, An Giang, dan Can Tho, Ia menyaksikan ribuan pabrik padi beroperasi secara masif dan efisien. Pemandangan itu membakar kembali semangat lama yang selama ini tertahan.
“Tekad untuk jadi petani besar sudah saya canangkan tujuh tahun lalu. Tapi saya lebih dulu fokus ke tambang dan perikanan. Kini, waktunya kembali ke akar,” ujar Ketua Umum Netra Bakti Indonesia (NBI) itu.
Baca Juga: Sinergi Indonesia-Vietnam: Langkah Strategis Menuju Kejayaan Budidaya Lobster
Melalui BAPANTARA Group (Bandar Pangan Nusantara), Gus Lilur ingin menghadirkan mimpi besar: membangun pabrik-pabrik padi di banyak kabupaten, mencetak sawah-sawah baru, dan menciptakan kemandirian pangan sejati.
“Di negara agraris seperti Indonesia, tidak boleh ada warga yang kelaparan hanya karena tidak mampu membeli beras,” tegasnya dengan nada idealis.
Langkah Gus Lilur bukan sekadar ekspansi bisnis. Ini adalah misi sosial, napas panjang dari seorang anak dusun yang pernah jenuh dengan sawah, namun kini justru menjadikan sawah sebagai jalan pengabdian.
“Bismillah. Salam keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," pungkas Tokoh Muda Nahdliyin Inspiratif Versi Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN) ini. (*)
Editor : Redaksi Sanubari