KESEHATAN Presiden Pertama RI Soekarno terus menurun pada Juni 1970. Mohammad Hatta, wakilnya, yang pada akhir 1956 berpisah secara politik dengan Bung Karno, begitu gundah mendengar kabar itu.
”Soekarno adalah orang terpenting dalam pikiranku. Ia sahabatku. Kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama. Keinginan yang sama. Yakni agar negeri ini merdeka,” demikian catatan sejarawan Peter Kasenda dalam buku berjudul: Hari-hari Terakhir Soekarno (2012).
“Apabila memang ada perbedaan di antara kami, itu lumrah. Tapi aku tak tahan mendengar berita Soekarno disakiti seperti ini,” lanjut tulisan tersebut.
Tepat Minggu pagi, 21 Juni 1970, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Purna sudah perjalanan sang Pemimpin Besar Revolusi.
Sebelumnya, Bung Karno dirawat atau diasingkan di Wisma Yaso, Jakarta. Akses untuk menjenguknya dibatasi pemerintah. Di tempat ini Hatta membesuknya. Hatta juga yang menjadi wali pernikahan Guntur Soekarnoputra pada tahun 1968. Sewaktu Bung Karno kritis dan berhalangan menghadiri akad nikah putra pertamanya itu.
“Hatta, kau di sini?” tanya Soekarno.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?” jawab Bung Hatta.
Kedua tokoh bangsa itu kemudian saling berbagi tangis.
Membaca pertemanan Bung Karno dan Bung Hatta hari ini adalah membaca langgam sosok-sosok negarawan. Sulit ditemukan korespondensinya dalam rimba politik keindonesiaan awal abad ke-21.
Hilang bukan hanya warisan kecerdasannya, keelokan membangun argumen yang runtut, ketajaman merangkai kalimat, keteguhan memegang prinsip, keintiman bergaul dengan massa, dan atau keberaniannya menentang kezaliman.
“Kita juga kehilangan jagat ’pertemanan’ itu. Semuanya sudah punah dalam aras politik di jazirah negeri kepulauan,” begitu penilaian soekarnois, Asep Salahudin.
Para perawi sejarah mengingat ini sebagai momen persahabatan elite politik yang paling romantik. Koran Sulindo bahkan memberi tajuk peristiwa itu sebagai ”Dwitunggal yang Tak Pernah Tanggal”.
Empat belas tahun sebelum Bung Karno mangkat, Hatta yang berstatus sebagai wakil presiden waktu itu memutuskan mundur. Pada 1 Desember 1956, secara resmi Bung Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai wakil presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955.
Pada 5 Februari 1957, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 13/1957, Soekarno memberhentikan Hatta sebagai wakil presiden.
Ada banyak pemicu hubungan sejoli pemimpin Indonesia muda itu kandas. Menurut aktivis Adnan Buyung Nasution, Soekarno terlalu terobsesi dengan revolusi. Sementara Hatta memandang revolusi sudah selesai. Pembangunan ekonomi harus diprioritaskan.
Merujuk pada buku berjudul: Mohammad Hatta dan Persatuan Indonesia (2018), pecahnya dwitunggal membentang dari prinsip politik hingga persoalan etis. Penulis Deliar Noer, mengatakan, dalam sistem demokrasi parlementer waktu itu, Soekarno lebih dapat dikatakan sebagai pemimpin rakyat. Bukan presiden yang taat konstitusi.
Pada saat bersamaan, Hatta juga bermasalah dengan sikap Soekarno yang flamboyan terhadap perempuan. Hatta tidak bisa menyetujui sikap Soekarno terhadap Fatmawati yang ”digantung tidak bertali”.
Pada 1955, Ibu Fat mengajukan cerai. Dalam rentetan ini pula, Hatta protes karena Soekarno kawin dengan Hartini. Ketika itu reputasi Hartini kurang baik.
Akan tetapi, di atas semua itu, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa anak Raden Soekemi Sosrodihardjo itu selalu gandrung persatuan. Ia adalah “solidarity maker”. Selalu mabuk akan persatuan.
Tepat 55 tahun lalu, Bung Karno berpidato di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Kepada ribuan massa yang memperingati Hari Kebangkitan Nasional itu, Bung Karno bercerita tentang Belanda yang warganya hanya berjumlah 2 juta. Tetapi bisa menjajah Nusantara yang jumlah manusianya mencapai 30 juta.
Mengapa bisa demikian? Bung Karno mencatat, ada dua hal yang membuat Nusantara terkooptasi oleh imperialis Belanda. Negeri kincir angin itu mengenakan senjata material berupa meriam dan bedil serta senjata immaterial. Senjata berupa immaterial itu dengan metode pecah belah.
“Kita diadu domba satu sama lain. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sumatera. Sedangkan Sumatera dibikin benci kepada Jawa. Sulawesi dibikin benci sama orang Kalimantan. Benci membenci satu sama lain,” katanya dalam buku: Bung Karno: Setialah kepada Sumbermu (2015).
Hari Kebangkitan Nasional yang ditandai lahirnya organisasi pemuda Boedi Oetomo, menurut Bung Karno, adalah momentum kemajuan sejarah. Masa di mana anak negeri mulai keluar dari ego kedaerahan.
Ini merupakan beginsel atau prinsip untuk menyusun tenaga persatuan di tingkat awal. Kelahiran Boedi Oetomo menjadi bagian tak terpisahkan dari kemerdekaan nasional Indonesia.
Bung Karno terus menggelorakan persatuan. Targetnya, agar pesannya meresap di sanubari rakyat. Hampir dari semua unsur pidatonya mengandung kata persatuan. “Rukun agawe santoso: jikalau kita bersatu, jikalau kita rukun, kita menjadi kuat,” katanya.
Puluhan tahun berlalu. Proses demokratisasi di Indonesia terus berlangsung. Ada saja dinamika perpecahan selalu terjadi setiap pesta demokrasi lima tahunan itu. Entah siapa yang membuat skenario itu.
Walau, seruan untuk bersatu datang juga selalu datang dari semua penjuru. Elite politik diminta untuk berhenti saling tuding. Karena persatuan dan kesatuan bangsa sedang dipertaruhkan.
Sejarawan Ichwan Azhari mengajak bangsa Indonesia untuk kembali melihat Pemilu 1955. Di tengah fragmentasi politik, bangsa Indonesia tetap berhasil melaluinya. Tidak sampai memicu timbulnya apa yang saat ini terkenal sebagai people power.
Historia magistra vitae. Sejarah adalah guru yang baik. Indonesia berhasil bangkit setelah dijajah ratusan tahun oleh Belanda. Indonesia bertahan dari tajamnya bayonet tentara Jepang.
Bangsa ini pun masih berada dalam satu naungan republik tatkala terjadi pergolakan daerah ketika republik masih seusia bayi. Menghadapi pemilu serentak yang selalu dilaksanakan setiap lima tahun itu memunculkan pertanyaan: Kemana semua kedinamisan itu pergi? (*)
Editor : Redaksi Sanubari