Ancaman Gagal Bayar Guru Swasta di Balik Regulasi BOSP 2025

Sekolah Swasta Tertekan, Aturan Baru BOSP Dinilai Timbulkan Dampak Negatif

avatar sanubari.co.id
Ilustrasi guru yang pusing dengan ancaman dari dampak regulasi BOSP 2025
Ilustrasi guru yang pusing dengan ancaman dari dampak regulasi BOSP 2025

BONTANG, sanubari.co.id - Beberapa sekolah swasta di Kaltim masih kesulitan membayar gaji guru dan tenaga kependidikan. Padahal, penggunaan bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP) selama ini tidak dibatasi penggunaannya.

Namun, saat ini sekolah swasta semakin khawatir. Ada wacana penggunaan BOSP akan diatur. Itu diatur dalam regulasi tentang Juknis penggunaan Dana BOSP Daerah 2025. Hal itu terkuak dalam seminar yang dilaksanakan Dewan Pendidikan Kaltim, beberapa waktu lalu.

Hal itu pun mendapat respon dari berbagai pihak. Salah satunya dari Rediyono, salah satu pengamat pendidikan di Bumi Etam. Menurutnya, pemerintah harus lebih bijak dan berhati-hati dalam membuat suatu keputusan.

Ia tidak ingin menimbulkan implikasi negatif. Sebab saat ini, semangat yang dilakukan pemerintah provinsi adalah mengurangi angka putus sekolah di Kaltim.

“Terkait dengan regulasi penggunaan Dana BOSP daerah 2025, menurut saya agar tidak dilakukan pembatasan penggunaan dana BOSP daerah,” katanya kepada sanubari.co.id, Jumat 11 Juli 2025.

Ia menilai BOSP tersebut sebenarnya sangat membantu sekolah dalam membayar gaji guru dan tenaga kependidikan. Walau angkanya masih jauh dari kata layak. Ia pun menilai, surat keputusan (SK) kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur nomor 100.3.3/K.14761/Disdikbud, akan berdampak negatif.

“Kalau aturan itu dilaksanakan, akan berdampak pada gagal bayar gaji guru dan tenaga pengajar di sekolah swasta. Karena, ketidakmampuan finansial sekolah. Semuanya serba terbatas,” terangnya.

Di sisi lain, bagi sekolah Negeri, mereka menginginkan agar anggaran untuk belanja jasa pendidik atau pengajar pengganti tidak dibebankan pada alokasi anggaran BOSP Daerah. Hal itu dinilai dapat mengurangi kemampuan sekolah dalam mencukupi dana operasional.

“Mereka juga menuntut agar mekanisme belanja barang dan jasa kembali dikelola oleh sekolah. Karena, yang mengetahui kebutuhan sekolah ya kepala sekolah dan jajarannya. Tidak semua sekolah SMA/SMK negeri kebutuhannya sama kan,” ucapnya.

Karena itu, Rediyono berharap masalah ini perlu disikapi secara bijak. Agar dapat menemukan solusi terbaik. Ia tidak ingin pendapatan guru dan tenaga pengajar lainnya terus tertekan. Saat ini, ia mengungkapkan, honor guru di sekolah swasta masih di bawah UMR.

“Kalau dipaksakan terus kebijakan tersebut, bisa jadi, gaji guru dan tenaga pengajar ini di bawah Rp 1 juta per bulan. Bahkan bisa tidak lancar diterima setiap bulannya. Sama halnya dengan pencairan BOSP selama ini,” ucapnya. (*)

Berita Terbaru