BONTANG, sanubari.co.id - Bantuan Operasional Satuan Pendidikan Daerah BOSP Daerah 2025 yang digulirkan pemprov Kaltim masih menjadi perdebatan di lingkungan sekolah swasta. Para kepala sekolah di tingkat SMA/SMK, SLB sederajat se-Bontang melakukan rapat untuk membahas terkait kebijakan pemprov Kaltim ini.
Kepala Sekolah SMA Bahrul Ulum Bontang Andi Suharman Mappanganro mengatakan banyak hal yang dibahas dalam pertemuan kepala sekolah swasta tingkat SMA, SMK, MA, dan SLB se-Bontang itu.
Baca Juga: Pendidikan Karakter, Bekal Siswa SMK Hadapi Dunia Kerja dan Wirausaha
Mulai dari penyusunan laporan penggunaan BOSP Daerah sampai pada Keputusan yang dibuat oleh Gubernur Kaltim Rudi Mas’ud terkait penggunaan BOSP Daerah dan keputusan kepala dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim.
“Dalam forum ini juga menghasilkan tiga rekomendasi untuk menjadi pertimbangan gubernur Kaltim dan Kepala Disdikbud Kaltim,” katanya kepada sanubari.co.id, saat ditemui usai rapat pertemuan di SMK Putra Bangsa Bontang, Kamis 31 Juli 2025.
Ketiga rekomendasi yang ia maksud adalah: meminta agar menunda pemberlakuan SK Kepala Disdikbud Kaltim nomor 100.3.8/K.14761/disdikbud.Ic. Penundaan itu dilakukan sampai ditemukan formulasi yang tepat untuk SMA, SMK, SLB dan MA swasta.
Lalu mereka meminta untuk mengubah keputusan Gubernur Kaltim nomor: 100.3.3.1/K.115/2025 Poin 9 Huruf g. yang meminta untuk meniadakan batas maksimal 50 persen pembiayaan jasa tenaga pendidik dan kependidikan bagi SMA, SMK, SLB dan MA swasta.
“Selama ini, komponen terbesar dalam operasional sekolah swasta adalah biaya gaji guru dan tenaga kependidikan. Angkanya antara 70 hingga 100 persen, yang didapat dari partisipasi masyarakat melalui SPP,” ucapnya
“Itupun tingkat penghasilan guru swasta sebagian besar masih dibawah upah layak. Sekarang ini, pemerintah mewajibkan SPP itu dikurangi. Bahkan ditiadakan. Tetapi, penggunaan BOSP Daerah malah dibatasi,” tambahnya.
Baca Juga: Sekolah Swasta Tertekan, Aturan Baru BOSP Dinilai Timbulkan Dampak Negatif
Poin usulan ketiga adalah sistem pelaksanaan dan penatausahaan BOSP Daerah dapat merujuk pada pelaksanaan dan penatausahaan BOSP nasional. Terutama mekanisme dropping atau pencairan Dana BOSP Daerah tidak per Triwulan, tetapi bertahap.
Hal itu mengikuti mekanisme pencairan dana BOSP nasional. Untuk hal ini diperlukan adanya perubahan dan perbaikan tata kelola, terutama pada jajaran teknis. “Selama ini, pencairannya per tiga bulan. Itupun lambat betul,” terangnya.
Misalnya saja pencairan BOSP Daerah untuk triwulan pertama 2025 (Januari-Maret). Bantuan dana itu baru cair di Juni 2025. Itu juga minta sekarang untuk melakukan laporan pertanggungjawaban.
“Katanya nanti setelah laporan pertanggungjawaban itu selesai, barulah dicairkan BOSP Daerah untuk triwulan kedua (April-Juni). Kalau seperti ini mau gimana? Apakah gaji guru kita bayarkan telat juga? Kalau kayak gini, ya, kalau gurunya masih hidup,” tegasnya.
Baca Juga: Cahaya dari Pondok Kecil
Selama ini, sekolah bisa bertahan hidup karena partisipasi Masyarakat dari SPP yang diberikan oleh orang tua murid. Sementara, jika SPP dikurangi atau malah dihilangkan, maka kondisi ini akan memperburuk sekolah. Dampaknya akan terasa pada kualitas pendidikan.
“Saya rasa, permasalahan ini dirasakan oleh semua sekolah swasta. Otomatis, kalau pembayarannya telat, guru-guru pastinya akan kesulitan mendapatkan gaji tepat waktu. Alhasil, akan berdampak pada kualitas pendidikan yang diberikan,” terangnya.
Walau ia mengakui, sekolah yang dipimpinnya itu sudah lama menggratiskan SPP. Jauh sebelum kebijakan ini diberikan. Mereka bertahan hidup dari infaq sekolah atau yang lebih dikenal dengan uang gedung. Serta uang ujian setiap kali ada ujian.
“Kalau sekolah lain, uang ujian itu sudah menyatu dengan SPP. Nah, kalau kami memang tidak. Tapi, kalau sekarang mungkin mengurangi SPP. Nanti kedepannya kebijakan apa lagi yang diberikan. Ini bahaya,” ungkapnya. (*)
Editor : Redaksi Sanubari