Sanubari.co.id - Hari Kesaktian Pancasila merupakan peringatan tragedi naas yang dialami Indonesia pasca kemerdekaan. Enam perwira tinggi TNI ditembak mati saat itu. Serta dua orang lainnya yang menjadi target salah sasaran. Tragedi ini terjadi pada 30 September 1965. Tindakan itu pun dikenang sebagai Gerakan 30 September (G30S) PKI.
Satu tahun kemudian, tepatnya 17 September 1966 Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto mengeluarkan surat keputusan nomor Kep 977/9.1966. Dalam surat itu peringatan 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati oleh TNI Angkatan Darat.
Baca Juga: Satpol PP Bontang Gelar Razia Pelajar Malam Hari Sesuai Perwali 8/2008: Ini Tujuannya
Namun di bulan yang sama, Jenderal Soeharto kembali mengeluarkan surat keputusan nomor: Kep/B/134/1966. Surat itu berisi peringatan Hari Kesaktian Pancasila diperingati oleh seluruh komponen pemerintahan dan masyarakat.
Keputusan itu merespon usulan Panglima Angkatan Kepolisian agar peringatan tragedi tersebut diperingati oleh seluruh jajaran angkatan bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Upacara peringatan tragedi G30S-PKI pertama kali dilaksanakan di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1966. Tepat satu tahun setelah tragedi itu terjadi.
Tapi mengapa tragedi tersebut dianggap memiliki kalimat Sakti?
Kata “Sakti” dalam kalimat Hari Kesaktian Pancasila tidak sedikitpun merujuk pada sesuatu yang berbau unsur supranatural. Beberapa artikel menjelaskan, dalam konteks tragedi tersebut, Pancasila terbukti memiliki kekuatan, ketangguhan dan daya tahan sebagai ideologi negara.
Peristiwa G30S 1965, yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat, dianggap sebagai ujian terbesar bagi eksistensi Pancasila. Meski ada upaya untuk menggantinya dengan ideologi lain, usaha tersebut gagal. Fakta ini menegaskan bahwa Pancasila tidak tergoyahkan dan tetap menjadi dasar negara Indonesia.
Latar Belakang Sejarah
Tragedi G30S terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965. Tujuh perwira TNI AD menjadi korban penculikan dan pembunuhan, yakni:
- Jenderal Ahmad Yani,
- Mayjen R. Soeprapto,
- Mayjen M.T. Haryono,
- Mayjen S. Parman,
- Brigjen D.I. Panjaitan,
- Brigjen Sutoyo Siswomiharjo,
- Lettu Pierre A. Tendean
Ketujuh korban kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia. Dalam tragedi itu, satu balita juga menjadi korban. Dia adalah Irma Suryani Nasution. Dia merupakan putri bungsu Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Anak berusia 5 tahun itu tertembak karena berusaha menjadi tameng sang ayah.
Pengorbanan itu berhasil. AH Nasution ketika itu berhasil lari dari maut. Ade Irma sempat dirawat di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat. Namun, nyawanya tidak tertolong. Dia meninggal enam hari kemudian. Tepatnya pada 6 Oktober 1965.
Pada masa itu, PKI dituding berada di balik tragedi G30S. Disebut-sebut mereka ingin mengganti ideologi negara dari Pancasila ke komunisme. Namun, tudingan tersebut sempat dibantah oleh pimpinan PKI kala itu D.N. Aidit.
Meski demikian, pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto secara resmi menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Hal itu untuk mengenang kegagalan gerakan tersebut serta menghormati para korban.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila memiliki sejumlah makna penting. Antara lain menghormati jasa para pahlawan yang gugur, mengingat kembali perjuangan mempertahankan Pancasila, menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme, serta meneguhkan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang tidak tergantikan.
Dengan demikian, sebutan “Sakti” menegaskan bahwa Pancasila mampu bertahan menghadapi ancaman besar. Bahkan tetap menjadi perekat bangsa Indonesia hingga saat ini. (*)
Editor : Redaksi Sanubari