KUTAI TIMUR, sanubari.co.id - Di Kutai Timur (Kutim) ada enam perusahaan masuk dalam peringkat terburuk. Hal itu diungkapkan Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman, dikutip dari Antara, Senin 30 Juni 2025. Ardiansyah pun meminta kepada enam perusahaan tersebut untuk wajib memperbaiki tata kelola lingkungan.
“Enam perusahaan yang mendapatkan penilaian terburuk itu berdasarkan data penilaian pengelolaan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Mereka wajib memperbaiki, karena mereka sudah punya dokumen AMDAL. Sudah punya rencana lain-lain. Itu harus dilakukan,” ucapnya.
Dalam surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI nomor 129/2025, tertuang program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) 2023-2024 dengan lima kategori: hitam, merah, biru, hijau, dan emas.
"Tercatat ada enam perusahaan di Kutai Timur yang masuk dalam kategori hitam dan merah," tegasnya.
Ia menjelaskan, perusahaan yang diberikan peringkat hitam adalah perusahaan yang pekerjaan mereka menimbulkan kerusakan lingkungan serius. Serta tidak menjalankan pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan.
Baca juga: Menteri LH Puji Trobosan Berseri Inisiasi Khofifah
Sementara, peringkat merah menunjukkan adanya upaya pengelolaan yang dilakukan perusahaan. Namun belum memenuhi standar ketaatan lingkungan yang telah ditetapkan.
"Kalau bisa perusahaan yang masuk dalam SK Kementerian itu, segera menindaklanjuti kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dengan lebih baik. Serta sesuai dengan standar yang telah ditetapkan,” terangnya.
Ia menyebutkan perusahaan berada di peringkat merah, yakni PT Kaltim Nusantara Coal, PT Tambang Damai, PT Tawabu Mineral Resources, PT Anugerah Energitama dan PT Nala Palma Cadudasa. Sementara satu perusahaan yang diduga masuk peringkat hitam adalah PT Hamparan Perkasa Mandiri (HPM).
Menurutnya, keterbatasan kewenangan daerah dalam urusan pengawasan menjadi alasan utama hal itu terjadi. Karena, pemerintah daerah tidak bisa melakukan pengawasan secara menyeluruh. Tetapi, dampaknya sangat dirasakan oleh daerah.
"Tapi persoalannya, karena urusan pertambangan ini tidak di daerah. Kita tak punya kewenangan. Kecuali kita hanya punya pengawas lingkungan DLH. Itu pun kalau ada laporan yang masuk," katanya. (*)
Editor : Redaksi Sanubari